Selasa, 22 September 2015

Dongeng dan Mitos Asal Usul Gelombang Bono di Sungai Kampar, Propinsi Riau

Secara ilmiah, gelombang bono merupakan salah satu peristiwa alam yang cukup langka dan jarang terjadi. Dimana kita akan menyaksikan sebuah gelombang besar yang layaknya terjadi di tengah laut, namun ini terjadi di sebuah sungai air tawar. Gelombang bono terjadi diakibatkan benturan tiga arus air yang berasal dari Selat Melaka, Laut Cina Selatan dan Aliran air Sungai Kampar. Akibat benturan ini, menjadikan gelombang air di muara sungai Kampar bisa mencapai ketinggian 4-5 meter dengan ditandai sebelumnya dengan suara gemuruh yang hebat. Ini merupakan fenomena ilmiah yang akan dipercayai oleh kaum intelektual saja. Namun tahukah Anda, masyarakat sekitar memiliki cerita-cerita dongeng yang istimewa terkait dengan adanya gelombang bono tersebut? Ada banyak cerita dan kepercayaan dari masyarakat lokal yang menjadikan peristiwa alam yang langka tersebut kian istimewa.

Menurut kepercayaan warga, gelombang bono yang ada di sungai kampar adalah bono jantan, sementara bono betinanya berada di daerah Sungai Rokan, dekat dengan Kota Bagansiapi-api. Bono di kuala kampar tersebut berjumlah tujuh ekor, dimana bentuknya serupa kuda yang biasa disebut dengan induk Bono. Pada musim pasang mati, bono ini akan pergi ke Sungai Rokan untuk menemui bono betina. Kemudian bersantai menuju ke selat Malaka. Itulah sebabnya ketika bulan kecil dan pasang mati, bono tidak ditemukan di kedua sungai tersebut. Jika bulan mulai besar, kembalilah bono ketempat masing-masing, lalu main memudiki sungai Kampar dan sungai Rokan. Semakin penuh bulan di langit, semakin gembira bono berpacu memudiki kedua sungai itu.

Bagi penduduk daerah Kuala Kampar, bono sudah mereka kenal sejak kecil. Sebab itulah tidak aneh, apabila anak-anak, remaja dan juga orang dewasa menganggap bono sebagai sahabatnya, tempat mereka bermain ketangkasan menunggangi Bono atau disebut Bekudo Bono menggunakan perahu-perahu (sampan) kecil. Biasanya tempat bermain bono bagi warga sekitar adalah di tempat-tempat dimana bono tidak terlalu besar atau di dalam anak-anak Sungai Kampar yang memiliki Bono, seperti misalnya Sungai Sangar, Turip, Serkap, Kutub dan Sungai Kerumutan. Permainan ini memang besar resikonya, sebab jika salah perhitungan perahu dapat dilemparkan bono ke tebing sehingga hancur luluh. Tetapi dari pengalaman sejak kecil, mereka, para pemain bono ini sudah mengetahui betul dimana tempat yang aman bermain bono.


Penduduk setempat Bekudo Bono dengan menggunakan papan selancar

Dahulunya, permainan bono tersebut sering dilakukan dengan terlebih dahulu menggelar upacara tertentu untuk menjamin keselamatan para pemainnya. Upacara tersebut dinamakan ‘semah’ yang harus dilakukan pagi atau siang hari. Upacara ini dipimpin oleh seorang ‘Bomo’ atau Datuk atapun para tetua kampung. Hal tersebut dilakukan maksud agar pengendara bono mendapat keselamatan saat mengendarai bono, dan dijauhkan dari segala bahaya. Selain itu, ada pula cerita mistis yang berhubungan dengan ombak bono tersebut yakni cerita tentang banjir darah di mempusun atau mempusun bersimbah darah, serta terbentuknya Kerajaan Pelalawan pada tahun 1822 M.

Para pendekar melayu konon kabarnya sering ditantang dan diuji ketangkasannya dengan menunggangi gelombang bono tersebut. Siapa yang berhasil menakklukkan gelombang yang sangat tangguh tersebut maka akan dianggap sebagai sosok yang sakti dan memiliki kekuatan terbaik. Cerita lain menyebutkan bahwa dahulunya gulungan ombak ini berjumlah 7 (tujuh) ombak besar dari 7 hantu. Ketika pada masa penjajahan Belanda, kapal-kapal transportasi Belanda sangat mengalami kesulitan untuk memasuki Kuala Kampar akibat ombak ini. Salah seorang komandan pasukan Belanda memerintahkan untuk menembak dengan meriam ombak besar tersebut. Entah karena kebetulan atau karena hal lain, salah satu ombak besar yang kena tembak meriam Belanda tidak pernah muncul lagi sampai sekarang. Maka sekarang ini hanya terdapat 6 (enam) gulungan besar gelombang ombak Bono.

Akan tetapi kemudian menjadi permainan biasa dan dapat dilaksanakan sesuka hati. Tetapi permainan ini hanya di lakukan pada siang hari, sedangkan malam hari betapapun beraninya mereka, belumlah ada yang berani mencobanya. Hal ini disebabkan karena resikonya yang cukup besar. Bila Anda takut ataupun ngeri untuk turut bersama perahu bermain bono, Anda dapat menyaksikan bono dari darat saja. Tetapi Jika berani silahkan bermain bono dengan perahu-perahu kecil yang banyak terdapat disana. Yang penting Anda harus pandai berenang, serta menunggangi bono itu. Permainan ini mirip dengan selancar pada ombak-ombak di pantai, karena tempatnya luas dan tantangannya cukup besar.

Asal mula nama minang kabau



Asal mula minang kabau

Suatu siang di sebuah kawasan di Ranah Minang, puluhan warga memadati arena pertandingan. Di tengah lapangan, dua ekor kerbau kekar saling berhadapan. Mereka akan diadu untuk ditetapkan sebagai sang juara.


Itulah sepintas adu kerbau yang menjadi budaya turun-temurun masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat. Budaya warisan leluhur yang telah berlangsung ratusan tahun itu sampai kini masih dijaga dengan baik oleh masyarakat Minang.

Minangkabau, suku besar di wilayah Sumatera Barat ini kaya akan warisan sejarah dan budaya. MinangKabau diambil dari kata Minang, yang berarti kemenangan, dan Kabau, yang berarti kerbau. Dengan kata lain MinangKabau berarti “Kerbau yang Menang”.

Penamaan ini berhubungan erat dengan sejarah terbentuknya MinangKabau yang diawali kemenangan dalam suatu pertandingan adu kerbau untuk mengakhiri peperangan melawan kerajaan besar dari Pulau Jawa.


Suku MinangKabau memang mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan hewan ternak berkaki empat yang disebut kerbau. Itu antara lain terlihat pada berbagai identitas budaya Minang, seperti atap rumah tradisional mereka (Rumah Bogonjong). Rumah adat yang kerap disebut juga Rumah Gadang itu berbentuk seperti tanduk kerbau. Begitu pula pada pakaian wanitanya (Baju Tanduak Kabau).

Sudah beratus-ratus tahun lamanya kerbau menjadi salah satu hewan terfavorit di Provinsi Sumbar. Badan kerbau yang besar dan kekar dianggap mampu membantu berbagai macam pekerjaan manusia. Salah satu pekerjaan kuno yang dikerjakan dengan bantuan tenaga kerbau adalah menggiling tebu.

Dengan alat sederhana, sang kerbau diikat di sebilah bambu yang terhubung pada alat pemeras tebu tradisional. Selama delapan jam bekerja, sang kerbau terus-menerus berputar mengelilingi alat pemeras. Uniknya, agar sang kerbau tidak pusing kepala, mata hewan itu ditutup dengan dua buah batok kelapa yang dilapisi kain.


Air tebu hasil perasan sang kerbau itulah yang kemudian menjadi cikal bakal pembuatan gula merah tradisional. Masyarakat Minang percaya, gula merah hasil kerja keras sang kerbau lebih gurih ketimbang dari alat modern.

Dari sisi sejarah, hewan kerbau bagi suku besar di SumBar ini, telah mengantarkan kejayaan mereka di masa silam. Konon, dahulu kala karena bantuan kerbau-lah masyarakat di SumBar menang perang melawan suku Jawa. Akhirnya sampai sekarang, mereka menamakan dirinya sebagai suku MinangKabau.

“Jadi perang tak berakhir juga, kami usulkan untuk adu kerbau saja. Oleh pihak penyerang dicarilah kerbau yang terbesar di daerahnya, dan ditempatkan di tengah ladang. Orang sini hanya anak kerbau yang sedang menyusu, yang disisipkan mata pisau di mulutnya. Karena anak kerbau yang sudah dua hari tak minum susu, dia lari mengejar kerbau besar yang dikiranya susu ibunya. Jadi, perut kerbau besar itu robek dan dia lari sampai mati,” kisah Datuk Bandaro Panjang, pemuka adat.


Kisah sang kerbau ternyata tak hanya menjadi legenda semata. Hingga kini, pasar ternak di Sumbar pun lebih banyak menjual kerbau ketimbang sapi. Sistem penjualan ternak orang Minang pun cukup unik.

Berbeda dengan pasar sayur tradisional di pasar ternak ini tidak akan terdengar sepatah kata pun antara sang penjual dan pembeli. Transaksi yang berlaku hanya menggunakan isyarat tangan, jari-jari tangan dipakai sebagai alat perhitungan harga jual ternak yang akan dibeli.


Badan padat, kaki kekar dan mata tajam. Itulah ciri khas Si Borgol, kerbau kesayangan Kati Sutan, petani Ranah Minang. Bagi Kati Sutan, memiliki kerbau seperti Borgol ibarat memiliki harta yang sangat berharga dan juga kehormatan.

Borgol bukanlah sembarang kerbau, ia seekor kerbau aduan yang sudah menang lima kali pertandingan. Karena kehebatan itulah, hewan tersebut kemudian mendapat gelar borgol yang berarti kuat mengunci lawan.


Tak hanya untuk hobi semata, kesenangan Kati Sutan mengikuti adu kerbau juga untuk meneruskan tradisi budaya Minangkabau. Ketangguhan Si Borgol yang sudah lima kali memenangkan pertandingan itu, membuat Kati Sutan terkenal di kampungnya.

Setelah berumur dua tahun, kerbau yang memiliki potensi sebagai aduan biasanya mulai dilatih oleh pemiliknya. Kali ini, Borgol pun akan dilatih untuk mempersiapkan kekuatan fisiknya menjelang pertandingan. Calon lawan tanding latihan harus sesuai berat tubuh Si Borgol. Sebab jika tidak imbang, latihan tarung itu akan percuma.


Latihan tarung kerbau paling lama dilakukan selama satu jam. Setelah yakin akan kekuatan Borgol, latihan tarung dihentikan. Kati Sutan sangat yakin kerbaunya akan menang kembali. Dalam adu kerbau tak hanya kekuatan kerbau yang menjadi andalan. Pemilik kerbau juga harus meminta jampi-jampi kepada dukun kerbau agar menang dalam pertandingan.

Seusai latihan tarung, Kati Sutan pun meminta seorang dukun kerbau untuk menjampi-jampi Si Borgol. Seperti pertandingan sebelumnya, Kati Sutan meminta bantuan Sutan Marajo, dukun adu kerbau yang terkenal di kampungnya. Sang dukun membawa sejumlah bahan-bahan alam untuk membuat jamu andalan bagi Si Borgol.

Bahan-bahan alam yang terdiri dari jahe, temulawak, lada dan daun-daunan alam lainnya mulai diracik. Di atas api besar, jamu-jamuan itu disangrai hingga gosong. Sementara keluarga Kati Sutan pun ikut membantu. Bahan lain untuk campuran jamu, seperti telur bebek, air jeruk nipis, minuman suplemen dan satu botol bir hitam turut disiapkan.

Setelah semua bahan siap, Sutan Marajo pun mulai membacakan mantera dan membakar kemenyan. Ia berdoa agar kerbau yang dijampinya dapat memenangkan pertandingan. Jampi-jampi pun dicampur ramuan.

Setelah itu, ramuan kemudian ditempatkan di selembar daun yang keesokan harinya akan diberikan kepada Si Borgol. Keluarga Kati Sutan pun lantas mempersiapkan Borgol sang jagoan untuk diadu keesokan harinya.


Hari pertandingan pun tiba. Kati Sutan mulai bersiap-siap. Namun, sebelum berangkat ke arena pertandingan, masih ada sejumlah ritual yang harus dilakukan sang dukun, yakni meruncingkan tanduk milik Si Borgol.

Tanduk merupakan salah satu bagian tubuh kerbau yang paling mudah untuk melukai lawan. Karenanya, harus dibuat setajam mungkin. Dengan sebilah pisau Sutan Marajo menajamkan tanduk Si Borgol. Kini tanduk sang kerbau telah tajam laksana pedang.


Ritual pun dilanjutkan. Seperti layaknya manusia, Borgol harus mandi dahulu sebelum maju ke arena pertarungan. Sambil membalurkan air ke tubuh Borgol, Sutan Marajo merapalkan jampi-jampi ajiannya agar jagoan Kati Sutan ini kuat melawan musuh.

Sesudah acara mandi selesai, sang dukun memberikan ramuan jampi-jampinya yang dibuat kemarin sore. Tanpa melawan, Borgol pun kemudian memakan ramuan sang dukun dengan lahapnya. Tak lupa tubuh tegap Borgol pun dibaluri lumpur dan jelaga agar terlihat gagah. Kini seluruh persiapan telah usai dilaksanakan. Borgol sang jagoan sudah tak sabar bertemu lawan tandingan.


Siang itu di bawah sinar matahari, Borgol dilepas dari kandangnya. Bak seorang jagoan, dengan gagahnya Borgol berjalan keliling kampung menuju arena pertandingan.

Letak arena pertandingan sekitar tujuh kilometer dari desa Kati Sutan. Namun, ditemani sang dukun Sutan Marajo, Borgol tak gentar berjalan. Bahkan sesekali, kerbau kekar itu mulai berlari seakan tak sabar untuk bertemu sang penantang.


Akhirnya, sampai juga Borgol di lokasi pertandingan. Rupanya sang lawan telah menunggu di pojok arena. Lawan tangguh Borgol tersebut berasal dari desa tetangga. Berbeda dengan Borgol yang sudah ikut lima kali pertandingan, lawannya justru baru kali ini maju ke arena adu kerbau.

Satu per satu penonton mulai berdatangan ke arena. Dengan tarif sebesar Rp3.000,- penonton dapat memilih tempat yang paling nyaman di sekeliling gelanggang.

Awalnya, adu kerbau dilakukan untuk mempertahankan tradisi suku Minangkabau, sayang belakangan acara adu kerbau justru dimanfaatkan para penontonnya untuk bertaruh atau berjudi. Begitu pula dalam pertandingan Borgol, dan Borgol-lah yang dijagokan, hampir seluruh penonton bertaruh Borgol sang jagoan akan memenangkan pertandingan.


Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, dua kerbau aduan dibawa ke tengah lapangan. Dan tanpa menunggu aba-aba lagi, kedua kerbau langsung saling mengejar. Tak disangka, Borgol yang dijagokan justru lari terbirit-birit menghindari lawan.

Adu kerbau kali ini, ternyata tak berjalan lama. Hanya dalam sekejap, Borgol menyerah kalah dan lari tunggang langgang ke luar arena. Para penonton pun pulang dengan penuh kekecewaan. Borgol sang jagoan ternyata tak mampu mempertahankan gelarnya. Rona kecewa juga terpancar di wajah Kati Sutan. Kekalahan Borgol seakan kehilangan kehormatan bagi keluarga Kati Sutan.

Sejarah Minangkabau



Sejarah Minangkabau Antara Fakta dan Logika
Berikut ini adalah kata sambutan salah seorang proklamator Indonesia Mohammad Hatta dalam buku Sejarah Minangkabau yang merupakan buku sejarah pertama mengenai Minangkabau:"Sampai saat ini belum ada buku yang menguraikan sejarah Minangkabau yang benar-benar merupakan buku sejarah. Yang ada ialah buku lukisan sepotong-potong. Ada pula diantaranya yang tidak membedakan yang benar dan yang dibuat-buat (Wahrheit und Dichtung). Sebab itu dapat dipuji keberanian lima orang muda sarjana sejarah untuk merintis kearah melukiskan sejarah Minangkabau. Mereka sendiri cukup insaf bahwa yang mereka sajikan masih berupa kerangka dan jauh daripada selesai. Mereka merupakan "satu pasukan" kecil perintis jalan dengan mengharapkan supaya tenaga-tenaga sejarah baru akan meneruskan dengan memperbaiki apa yang salah dan menambahkan apa yang kurang dengan bahan sejarah baru yang sekarang masih terpendam didalam buku Ibu Pertiwi.

Sejarah Minangkabau - Fakta dan Logika

Berikut ini adalah kata sambutan salah seorang proklamator Indonesia Mohammad Hatta dalam buku Sejarah Minangkabau yang merupakan buku sejarah pertama mengenai Minangkabau:
“Sampai saat ini belum ada buku yang menguraikan sejarah Minangkabau yang benar-benar merupakan buku sejarah. Yang ada ialah buku lukisan sepotong-potong. Ada pula diantaranya yang tidak membedakan yang benar dan yang dibuat-buat (Wahrheit und Dichtung). Sebab itu dapat dipuji keberanian lima orang muda sarjana sejarah untuk merintis kearah melukiskan sejarah Minangkabau. Mereka sendiri cukup insaf bahwa yang mereka sajikan masih berupa kerangka dan jauh daripada selesai. Mereka merupakan “satu pasukan” kecil perintis jalan dengan mengharapkan supaya tenaga-tenaga sejarah baru akan meneruskan dengan memperbaiki apa yang salah dan menambahkan apa yang kurang dengan bahan sejarah baru yang sekarang masih terpendam didalam buku Ibu Pertiwi.
Sudah terang bahwa yang mereka paparkan dalam buku ini akan ditinjau dan diuji secara kritis oleh sarjana lainnya. Tiap-tiap tinjauan kritis hendaklah menggerakkan niat dan usaha menggali lebih dalam dan mengumpulkan bahan sejarah lebih luas. Dengan jalan trial and error dan bantu membantu dalam pekerjaan, kebenaran sejarah akan bertambah banyak dan kekhilafan dan dugaan yang tidak berdasar akan bertambah kurang.
Sejarah maksudnya bukanlah menuliskan selengkap-lengkapnya fakta-fakta yang terjadi dimasa lalu, yang tidak mungkin terkerjakan oleh manusia. Tujuan sejarah ialah seperti yang dikemukakan oleh almarhum Prof. Dr. Huizinga dalam bukunya Cultuur Historische Verkenningen ialah memberi bentuk kepada masa yang lalu, supaya roman masa yang lalu itu jelas tergambar dimuka kita. Tiap-tiap yang terjadi ada sebabnya dan kemudian ada pula akibatnya. Rangkaian sebab dan akibat itu hendaklah terlukis pula gambaran sejarah yang dikupas itu.
Kesulitan yang dihadapi oleh ahli-ahli sejarah untuk menyusun perkembangan sejarah, dibagian manapun juga dalam wilayah Republik Indonesia, tidak sedikit. Bangsa Indonesia dimasa dahulu tidak biasa menuliskan fakta-fakta yang terjadi. Hanya beberapa tamasya dan kejadian yang dianggap penting saja yang dituliskan pada daun-daun lontar atau sebilah kulit kayu yang diiris tipis atau direkam pada batu sebagai peringatan. Banyak sudah dari peninggalan kabar orang dahulu itu yang ditemukan kembali, tetapi masih banyak pula yang belum, masih terpendam dalam pangkuan Ibu Pertiwi.
Mudah-mudahan kerja yang dimulai oleh lima sarjana sejarah ini, yang menggambarkan diri mereka dengan pepatah-petitih Minangkabau “umur baru setahun jagung, darah baru setampuk pinang” dapat mendorong pemuda-pemuda angkatan sekarang menggali sejarah dan mempertinggi kebudayan bangsa Indonesia. Mereka mengerjakan penelitian adalah suatu bagian penting dalam tujuan menuntut ilmu, ilmu manapun juga yang dituntut. Sebab ilmu pada umumnya tersusun dalam dua lapis yaitu: Fakta dan Logika.
Jakarta, 27 April 1970
Mohammad Hatta











Sawahlunto Kejayaan Kota Tambang Batubara Di Sumatera Barat

Bagi wisatawan yang datang ke Sumatera Barat, Sawahlunto menyimpan pesona tersendiri. Di sana, terlihat jelas jejak-jejak kejayaannya semasa menjadi kota tambang batubara. Kota Sawahlunto yang dibangun Belanda sekitar 123 tahun lalu memang didirikan karena temuan batubara oleh Hendrik De Greve. Padahal letak Sawahlunto saat itu sangat jauh di pedalaman Sumatera Barat.
Kandungan batubara yang besar di Sawahlunto telah menjadikan tempat itu sebagai kota penting di Sumatera pada masa lalu. Cadangan “emas hitam” dalam jumlah besar ini menarik Pemerintahan Hindia Belanda untuk berinvestasi 5,5 juta gulden, termasuk untuk membangun Pelabuhan Emma Haven, kini menjadi Pelabuhan Teluk Bayur di Padang. Tujuannya: memperlancar ekspor hasil tambang tersebut.
Pemerintah Kolonial Belanda juga membangun jalur kereta api dari Emma Haven ke Sawahlunto sepanjang 155,5 kilometer. Ribuan pekerjanya didatangkan dari Jawa dan daerah lainnya. Sebagian besar bahkan para kuli paksa, yaitu para narapidana dari sejumlah penjara dengan kaki terantai. Karena itu mereka disebut ‘orang rantai’. Setelah proyek rel kereta api selesai, “orang rantai’ ini kemudian dijadikan buruh tambang.
Sebagai kota tua, Sawahlunto penuh dengan bangunan lawas. Salah satunya adalah bekas bangunan pembangkit listrik pertama di Sawahlunto yang dibangun pada 1894, yang kini menjadi Masjid Raya Nurul Iman. Tepat di bawah masjid, terdapat bunker yang dulu pernah digunakan sebagai tempat merakit senjata, mortar, dan granat tangan. Cerobong asap pembangkit listrik tenaga uap setinggi 80 meter juga masih berdiri. Cerobong asap itu kini menjadi menara mesjid.
Bangunan tua lainnya adalah gedung megah kantor pertambangan PTBA-UPO dengan halaman yang luas. Gedung bergaya kolonial Belanda itu didirikan pada 1916 dengan nama Ombilin Meinen dan berfungsi sebagai kantor pertambangan hingga sekarang.
Hanya berjarak 200 meter, terdapat gedung Pusat Kebudayaan, yang dibangun pada 1910. Dulu dijadikan gedung pertemuan dengan nama “Gluck Auf”. Di sini pejabat kolonial berkumpul, berdansa, bernyanyi, sambil menikmati minuman. Kini dijadikan tempat untuk pentas seni dan pameran lukisan.
Kejayaan tambang batubara Sawahlunto juga terlihat pada bangunan silo yang masih berdiri kokoh di kawasan Saringan. Silo ini berbentuk tiga silinder besar yang berfungsi sebagai penimbun batubara yang telah dibersihkan dan siap diangkut ke Pelabuhan Teluk Bayur. Setiap hari sirene silo berbunyi tiga kali, yakni pukul 07.00, 13.00, dan 16.00. Suara nyaring itu penanda jam kerja “orang rantai”.
Stasiun kereta api Sawahlunto, kini menjadi Museum Kereta Api. Kereta api pengangukut batubara sudah hampir 10 tahun terhenti seiring dengan menipisnya cadangan tambang batubara di Sawahlunto. Tapi kini di stasiun itu juga menjadi rumah “Mak Itam”, lokomotif uap untuk wisatawan. Inilah kereta api uap langka di dunia. Jumlahnya kini hanya lima buah.
Lokomotif uap E1060 yang dibuat oleh Esslingen, Jerman, ini menjadi ikon pariwisata Sawahlunto. Dulu beroperasi dari stasiun kereta api yang dibangun pada 1918 ini dengan mengangkut batu bara ke Pelabuhan Teluk Bayur, Padang.
Kereta api ini dibawa tiga tahun lalu dari Ambarawa. Sebelumnya, loko uap ini memang milik Sawahlunto saat tambang batu bara masih berjaya. Mak Itam hanya digunakan untuk jalur pendek dari Sawahlunto ke Muara Kalaban sejauh 7 kilometer. Kereta ini mengantar wisatawan menikmati pemandangan “Lubang Kalam” atau terowongan sepanjang 900 meter. Loko berbahan bakar batu bara ini bergandengan dengan gerbong kayu untuk membawa penumpang.
Bila mengunjungi Sawahlunto, jangan lupa menengok lubang tambang batubara pertama di Sawahlunto. Lubang tambang itu dibangun pada 1896 oleh orang rantai yang dipimpin seorang mandor bernama Suro. Terowongan bekas penambangan dipugar dan dijadikan museum tambang batu bara. Panjang terowongan ini ratusan meter, tapi baru 186 meter yang dipugar, dibersihkan, dan diberi blower udara untuk menambah udara.
Pengunjung bisa masuk ke dalamnya dan merasakan suasana bekas lorong penambangan batu bara. Terowongan bekas lubang tambang ini amat nyaman, dan aman, karena ada udara yang dialirkan dari blower serta dilengkapi kamera pengintai (CCTV) yang dipantau petugas di gedung Info Box.
Lebar lubang tambang ini dua meter dengan ketinggian dua meter. Dulu lorong ini digunakan untuk mengangkut batu bara dari penambangan di bawah Kota Sawahlunto. Dinding lorong terlihat hitam berkilat karena masih mengandung batu bara kualitas super, yaitu 6.000 hingga 7.000 kalori. Sebelum 1930, Belanda menutup lubang ini karena dekatnya lubang tambang dengan Sungai Lunto, yang mengakibatkan derasnya rembesan air.
Jelajahi pula Museum Gudang Ransum. Di sana kita dapat menyaksikan suasana di zaman tambang dari ratusan foto hitam putih yang tergantung di dinding. Foto-foto lama yang menggambarkan suasana di zaman penambangan batu bara oleh Belanda, pekerja tambang, dan orang rantai. Gudang Ransum ini didirikan pada 1918 dan berfungsi sebagai dapur umum tempat memasak makanan serta memenuhi kebutuhan makanan bagi pekerja tambang dan rumah sakit Sawahlunto, yang berjumlah ribuan orang. Bangunannya terdiri atas dapur umum, gudang es, gudang makanan mentah, gudang beras, menara asap, dan power strom.
Ada tiga bangunan besar, dua di antaranya berfungsi sebagai gudang ransum atau tempat makan ribuan kuli tambang, termasuk orang rantai. Para pekerja tambang ini berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. Di museum ini terdapat beberapa batu nisan orang rantai yang hanya ditulisi angka.
Satu bangunan lain berfungsi sebagai dapur umum atau tempat memasak. Setiap hari pada masa itu dimasak 65 pikul beras atau hampir 4.000 kilogram beras. Sistem memasak juga dengan menggunakan tekanan uap yang dialirkan melalui pipa-pipa besar di bawah dapur. Peralatan masak yang digunakan terdiri dari paci berukuran besar.
Era kejayaan tambang batubara dan tragedi orang rantai di Sawahlunto terawat rapi oleh pemerintah kota Sawahlunto. Wali Kota Sawahlunto Amran Nur, dalam delapan tahun terakhir telah menyulap “rongsokan” bekas peninggalan kota tambang menjadi museum hidup untuk wisata sejarah.
Sawahlunto kini menjadi kota kecil yang nyaman untuk tempat wisatawan melihat jejak kota tambang batubara.Menurut Amran, Kota Sawahlunto sedang diusulkan menjadi kota warisan dunia ke Unesco. “Apalagi Sawahlunto juga sudah ditetapkan menjadi salah satu kota tua terbaik di Indonesia,” kata Amran Nur.

Konflik Semanjung Malaya Dari Kerajaan Chola Hingga VOC Belanda

Konflik militer di Semenanjung Malaya, yang kini menjadi bagian dari Kerajaan Malaysia, memiliki sejarah panjang. Serangan militer penting yang terekam sejarah bermula dari ekspedisi laut Kerajaan Chola di India Selatan yang berpusat di Delta Sungai Kaveri di Kota Nagapattinam.
Kerajaan Chola yang muncul tahun 985 Masehi menurut sejarawan Herman Kulke dalam buku Nagapattinam to Suvarnadwipa, Reflections on the Chola Naval Expeditions to Southeast Asia merupakan salah satu dinasti terkuat di dunia pada abad ke-10. Kekuatan superpower lain kala itu adalah Dinasti Fatimiyah di Mesir yang muncul tahun 969 Masehi dan Dinasti Sung di Tiongkok yang muncul tahun 960 Masehi.
Raja bernama Rajaraja dari Kerajaan Chola mengembangkan kekuasaan di India Selatan, Sri Lanka, hingga Kepulauan Maladewa. Ketika itu perdagangan antara Kerajaan Pagan di Myanmar modern, Kerajaan Sriwijaya di Sumatera, dan Kerajaan Tiongkok berkembang pesat.
Kerajaan Sriwijaya pun hidup makmur dari perdagangan dengan bangsa-bangsa lain. Kerajaan Sriwijaya, yang berkuasa hingga Semenanjung Malaya dan sebelah selatan Kerajaan Thailand modern di sekitar Surat Thani, memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Tiongkok.
Herman Kulke menulis, Kerajaan Chola yang mengirim utusan ke Tiongkok pada 1015 mendapat informasi intelijen tentang kekuatan Sriwijaya saat singgah di Sumatera. Informasi itu menjadi dasar serangan kekuatan laut Raja Rajendra Chola I (1014-1044) tahun 1025 ke Sriwijaya (Palembang), Malayu (Jambi), Pannai di sekitar Riau Daratan dan wilayah yang kini jadi Malaysia modern di Kadaram (Kedah), Ilangasokam di Trengganu-Pattani. Serangan itu memorakporandakan Semenanjung Malaya dan Sumatera.
Situasi damai tercipta di Semenanjung Malaya setelah serangan Kerajaan Chola. Kerajaan Malaka (1402) yang dipimpin Parameswara, seorang keturunan Majapahit yang berasal dari Sumatera, menjadi kekuatan perdagangan di kawasan tersebut.
Seiring dengan penjelajahan bangsa Eropa yang dipelopori Portugal dan Spanyol, Malaka dan Semenanjung Malaya pun menjadi incaran mereka. Secara berurutan, Portugis menaklukkan Cochin di India tahun 1502, Pulau Sokotra (sekarang wilayah Yaman) tahun 1056, dan Goa di pantai barat India dikuasai tahun 1510. Misi dagang Portugis pertama ke Malaka tahun 1509 berakhir dengan pertempuran karena para pedagang India memberikan kabar tentang ekspansi militer Portugis di India kepada Kesultanan Malaka. Portugis kehilangan dua dari lima kapal dan prajurit mereka di Malaka.
Ruud Spruit dalam buku The Land Of The Sultans menjelaskan, Belanda melalui Serikat Dagang Hindia Timur (VOC atau Kompeni) berusaha merebut Malaka, tetapi gagal. Demi persaingan ekonomi, Belanda pun mendirikan Batavia (kini Kota Jakarta) dari puing-puing Jayakarta pada tahun 1619.
Persaingan Malaka-Batavia terus berlangsung. VOC memutuskan merebut Malaka dengan pengepungan bulan Agustus tahun 1640. Pertempuran berjalan alot, baru pada tanggal 14 Januari, Malaka menjadi milik VOC.
Belakangan, seiring kekalahan Belanda dalam perang melawan Inggris, Malaka pun dikuasai Inggris. Selanjutnya Malaka ditukar Belanda kepada Inggris selepas perang Napoleon di Asia yang berakhir dengan kekalahan Perancis-Belanda di Jawa, bulan September tahun 1811.
Gabungan kemapanan ekonomi dan teknologi militer menjadi landasan utama untuk menyerang serta menguasai Semenanjung Malaya pada masa Sriwijaya hingga awal kedatangan kolonialisme Portugis-Belanda.

Napak Tilas Kerajaan Pelalawan

Sejarah Kerajaan Pelalawan

Kesultanan Pelalawan atau Kerajaan Pelalawan (1725 M - 1946 M) yang sekarang terletak di Kabupaten Pelalawan, adalah satu dari beberapa kerajaan yang pernah berkuasa di Bumi Melayu yang turut serta berpengaruh dalam mewarisi budaya Melayu dan Islam di Riau. Sedangkan gelar atau sebutan bagi Raja Pelalawan adalah Tengku Besar (Tengkoe Besar).
 
Kerajaan Pekantua (1380-1505)
Pada awalnya, Kerajaan Pelalawan bernama Kerajaan Pekantua, karena dibangun di daerah bernama Pematang Tuo. Sekarang masuk Desa Tolam, Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan. Setelah berhasil membangun kerajaan, raja pertama Pekantua, Maharaja Indera (1380-1420), membangun Candi Hyang di Bukit Tuo (sekarang wilayah Pematang Buluh atau Pematang Lubuk Emas) sebagai wujud rasa syukur.
Banyaknya barang dagangan yang dihasilkan, terutama hasil hutan, menjadikan Kerajaan Pekantua semakin terkenal, dan secara perlahan mulai menjadi pesaing bandar terpenting di Selat Malaka saat itu, yakni Malaka. Oleh karenanya, Raja Malaka, Sultan Mansyur Syah (1459-1477), berhasrat menguasai Kerajaan Pekantua, sebagai bagian rencana memperkokoh kekuasaan di pesisir timur Sumatera. Di bawah pimpinan Panglima Sri Nara Diraja, Malaka berhasil mengalahkan Pekantua.
Setelah mangkat, secara berturut-turut ia digantikan oleh Maharaja Pura (1420-1445), Maharaja Laka (1445-1460), Maharaja Sysya (1460-1480), dan Maharaja Jaya (1480-1505). Maharaja Jaya adalah raja terakhir Pekantua era pra Islam. Setelah era ini, Pekantua berganti nama menjadi Pekantua Kampar.
Kerajaan Pekantua Kampar (1505-1675)
Setelah mengalahkan Pekantua, Sultan Mansyur Syah kemudian mengangkat Munawar Syah sebagai Raja Pekantua, yang berkuasa pada tahun 1505-1511. Pada upacara penabalan raja, nama Kerajaan Pekantua diubah menjadi Kerajaan Pekantua Kampar.
Sejak saat itulah Islam berkembang di Kerajaan Pekantua Kampar. Setelah mangkat, Sultan Munawar Syah diganti putranya, Raja Abdullah (1511-1515). Pada masa yang hampir bersamaan, di Malaka Sultan Mansyur Syah mangkat, dan secara berurutan digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah I, kemudian Sultan Mahmud Syah I. Sekitar tahun 1511, Malaka diserang Portugis. Hal ini menyebabkan Sultan Mahmud Syah I menyingkir ke Muar, lalu ke Bintan. Pada tahun 1526, Sultan Mahmud Syah I sampai di Kerajaan Pekantua Kampar.
Tertangkapnya Raja Abdullah saat membantu Malaka melawan Portugis, menyebabkan beliau diasingkan ke Gowa. Hal ini menyebabkan terjadinya kekosongan kekuasaan di Pekantua Kampar. Sultan Mahmud Syah I yang tiba di Pekantua Kampar pada tahun 1526 langsung dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar (1526-1528). Setelah mangkat, ia digantikan oleh putranya hasil pernikahan dengan Tun Fatimah, yang bernama Raja Ali, bergelar Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528-1530).
Tak lama kemudian, Sultan Alauddin Riayat Syah II meninggalkan Pekantua Kampar menuju Tanah Semenanjung dan mendirikan negeri Kuala Johor. Sebelum meninggalkan Pekanbatu (ibu kota Pekantua Kampar), beliau menunjuk dan mengangkat Mangkubumi Pekantua Kampar, bernama Tun Perkasa (1530-1551) bergelar Raja Muda Tun Perkasa. Setelah itu, ia digantikan oleh Tun Hitam (1551-1575) dan kemudian Tun Megat (1575-1590).
Saat dipimpin Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar), Kerajaan Johor berkembang pesat. Tun Megat merasa sudah seharusnya mengirim utusan ke Johor untuk meminta salah seorang keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II menjadi Raja Pekantua Kampar.
Setelah mufakat dengan orang-orang Besar Pekantua Kampar, maka dikirim utusan ke Johor, yang terdiri dari Batin Muncak Rantau (Orang Besar Nilo dan Napuh), Datuk Patih Jambuano (Orang Besar Delik dan Dayun), dan Raja Bilang Bungsu (Orang Besar Pesisir Kampar).
Sultan Abdul Jalil Syah mengabulkan permintaan Tun Megat. Ia lalu mengirimkan salah seorang keluarga dekatnya bernama Raja Abdurrahman untuk menjadi Raja Pekantua Kampar. Sekitar tahun 1590, Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar bergelar Maharaja Dinda (1590-1630). Tun Megat yang sebelumnya berkedudukan sebagai Raja Muda, oleh Raja Abdurrahman dikukuhkan menjadi Mangkubumi, mewarisi jabatan kakeknya, Tun Perkasa.
Setelah mangkat, Maharaja Dinda secara berturut-turut digantikan oleh Maharaja Lela I, bergelar Maharaja Lela Utama (1630-1650), Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675), dan kemudian Maharaja Lela Utama (1675-1686).
Kerajaan Tanjung Negeri  (1675-1725)
Pada masa pemerintahan Maharaja Lela Utama, ibu kota kerajaan dipindahkan ke Sungai Nilo. Kerajaan ini dinamakan Kerajaan Tanjung Negeri. Setelah mangkat, Maharaja Lela Utama digantikan oleh putranya, Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691).
Pada masa pemerintahan Maharaja Wangsa Jaya, banyak wilayah Tanjung Negeri yang diserang wabah penyakit, sehingga membawa banyak korban jiwa rakyatnya. Meskipun demikian, para pembesar kerajaan belum mau memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri. Maharaja Wangsa Jaya mangkat dan digantikan oleh putranya, Maharaja Muda Lela (1691-1720). Pada masa ini, keinginan untuk memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri belum juga disepakati para pembesar kerajaan. Meski demikian, perdagangan dengan Kuantan dan negeri-negeri lain terus berjalan, terutama melalui Sungai Nilo.

Kerajaan Pelalawan (1725-1946)
Setelah mangkat, Maharaja Muda Lela digantikan putranya, Maharaja Dinda II (1720-1750). Pada masa ini diperoleh kesepakatan untuk memindahkan pusat kerajaan ke tempat yang oleh Maharaja Lela Utama pernah dilalaukan (ditandai, dicadangkan) sebagai pusat kerajaan, yaitu di Sungai Rasau, salah satu anak Sungai Kampar,  jauh di hilir Sungai Nilo.
Sekitar tahun 1725, dilakukan upacara pemindahan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri ke Sungai Rasau. Dalam upacara adat kerajaan itulah, Maharaja Dinda II mengumumkan bahwa dengan kepindahan itu, kerajaan berganti nama menjadi Kerajaan “Pelalawan”, yang berarti tempat lalauan atau tempat yang sudah ditandai/dicadangkan. Sejak itu, nama Kerajaan Pekantua Kampar tidak dipakai lagi, dan digantikan dengan nama “Pelalawan”. Setelah mangkat, Maharaja Dinda II digantikan oleh putranya, Maharaja Lela Bungsu (1750-1775).
Terjadinya pertikaian berkepanjangan di Johor menyebabkan Kerajaan Pelalawan melepaskan diri dari kekuasaan Johor. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa, penguasa Kerajaan Johor bukan lagi keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar keempat. Sehubungan dengan hal itu, Sultan Syarif Ali yang berkuasa di Siak (1784-1811) menuntut agar Kerajaan Pelalawan mengakui Kerajaan Siak sebagai Yang Dipertuan, mengingat beliau adalah pewaris Raja Kecil, putra Sultan Mahmud Syah II, Raja Johor. Maharaja Lela II menolaknya, dan memicu serangan Siak ke Pelalawan pada tahun 1797 dan 1798.
Serangan pertama yang dipimpin oleh Sayid Syihabuddin dapat dipatahkan. Sedangkan serangan kedua yang dipimpin oleh Sayid Abdurrahman, adik Sultan Syarif Ali, berhasil menaklukkan Kerajaan Pelalawan. Meskipun demikian, karena merasa seketurunan dari silsilah Johor, Sultan Sayid Abdurrahman melakukan ikatan persaudaraan Begito (pengakuan bersaudara dunia akhirat) dengan Maharaja Lela II, Raja Pelalawan. Maharaja Lela II kemudian diangkat menjadi Orang Besar Kerajaan Pelalawan dengan gelar Datuk Engku Raja Lela Putera. Sayid Abdurrahman kemudian dinobatkan menjadi Raja Pelalawan dengan gelar Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822). Sejak saat itu, Kerajaan Pelalawan dipimpin oleh raja-raja keturunan Sayid Abdurrahman, saudara kandung Syarif Ali, Sultan Siak, sampai dengan Raja Pelalawan terakhir.
Pertikaian Siak Sri Indrapura dan Pelalawan
Pada Masa Pemerintahan Maharaja Lela II (1775 M - 1798 M), banyak kemelut yang terjadi di Kesultanan Johor, yaitu sisa-sisa pertikaian takhta antara Raja Kecil dan Bendahara Padang Saujana Abdul Jalil pada tahun 1722. Bendahara Padang Saujana dan anaknya Tengku Sulaiman (kemudian menjadi Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah Johor) berpakat dengan Bugis 5 bersaudara (Daeng Parani, Daeng Merewah, Daeng Menambun, Daeng Kemasi dan Daeng Chelak) untuk mengusir Raja Kecil dari takhta Johor. Raja Kecil dikalahkan dan lari ke Siak menubuhkan Kesultanan Siak Sri Indrapurayang kekuasaannya mengambil tanah bekas jajahan Johor di pulau Sumatra. Karena tidak bersedia tunduk dan mengakui kekuasaan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah akan takhta Johor yang direbutnya, karena masalah itulah Maharaja Lela II memisahkan diri dari Kekuasaan Johor. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa penguasa Kesultanan Johor bukan lagi dari keturunan leluhurnyaSultan Alauddin Riayat Syah II (Malaka) tapi dari wangsa Bendahara yang merampas takhta.
Sehubungan dengan hal itu, Sultan Syarif Ali Raja Siak Sri Indrapura (1784-1811) menuntut agar Kerajaan Pelalawan mengakui Kesultanan Siak sebagai Yang Dipertuannya, mengingat dia adalah pewaris sah Raja Kecil, putra Sultan Mahmud Shah II (Sultan Johor terdahulu). Namun Maharaja Lela II menolaknya sehingga memicu pertikaian antara Siak Sri Indrapura dan Pelalawan.
Serangan Siak Sri Indrapura ke Pelalawan
Dalam catatan sejarah, terdapat dua kali serangan Pasukan Besar Siak Sri Indrapura ke Pelalawan melalui air dan darat. Peristiwa ini terjadi antara tahun1797 - 1810 M. Pada perang inilah beberapa Tokoh terkenal muncul, sepertiSaid Osman Syahabuddin, Datuk Maharaja Sinda, Panglima Kudin dan gurunya Panglima Katan, Panglima Hitam, Hulubalang Engkok, Cik Jeboh, Panglima Garang dan sebagainya.
Pada masa itu, Kerajaan Siak Sri Indrapura melalui penasehat istana mereka yang bernama Said Osman Syahabuddin (Ayah dari Sultan Syarif Ali penguasa Siak kala itu), berencana melakukan penyerangan ke Pelalawan melalui jalur air Sungai Kampar, hal itu dilakukan mengingat benteng pertahanan Pelalawan yang terletak di kuala Sungai Mempusun. Demi mempersiapkan penyerangannya, Said Osman Syahabuddin beserta pengikutnya menyiapkan sebuah kapal perang yang bernama "Kapal Baheram", kapal besar Siak dengan rancangan militer yang kokoh.
Diperkirakan pada awal tahun 1797 M, Said Osman Syahabuddin beserta pasukannya melancarkan serangan ke Pelalawan menggunakan Kapal Baheram. Setibanya mereka di kuala mempusun, terjadilah peperangan antara pasukan Said Osman Syahabuddin yang disambut oleh Pasukan Pelalawan dibawah pimpinan Hulubalang Engkok, perang sengitpun terjadi. Pada pekan pertama, Kapal Baheram Said Osman Syahabuddin terkena hantaman Meriam dari pasukan Hulubalang Engkok, Kapal Baheram mengalami kerusakan, dan memaksa Said Osman Syahabuddin memundurkan sementara pasukannya. Setelah berhasil mundur, Said Osman Syahabuddin beserta awak kapalnya mendiami suatu teluk, yang sekarang dinamakan "Teluk Mundur" di sebelah hilir Kuala Mempusun. Di Teluk Mundur ia kembali mengatur serangan, lalu dengan segera melakukan serangan ke duanya ke Benteng Mempusun. Setelah perang terjadi beberapa hari, Kapal Baheram mendapat kerusakan yang semakin parah, dan tidak dapat melanjutkan peperangan lagi. Lalu pada sorenya Said Osman Syahabuddin memutuskan mundur dan kembali ke Siak Sri Indrapura menggunakan Kapal Baheram yang dalam keadaan rusak parah. Sesampainya mereka di seberang kampung Ransang, Kapal Baherampun tenggelam. Dan sejak saat itu, wilayah tersebut dinamakan "Rasau Baheram", namun Said Osman Syahabuddin dan pasukannya berhasil kembali ke Siak Sri Indrapura dengan selamat melalui jalan darat.
Setelah Pasukan Said Osman Syahabuddin mundur, keluar satu pantun terkenal di masyarakat Pelalawan saat itu, yang berbunyi sebagai berikut :
Empak-empak diujung Galah
Anak Toman disambar Elang
Pelalawan dirompak, haram tak kalah
Baheram Osman berlayar pulang.

Perebutan Kekuasaan Pelalawan
Sekembalinya pasukan Sayyed Osman Syahabuddin ke Siak Sri Indrapura, kebencian Pelalawan semakin dalam meskipun tidak ada konflik langsung yang terjadi antara Siak Sri Indrapura dan Pelalawan dalam beberapa tahun. Pada masa itu, Datuk Maharaja Sinda dan Pembesar Kerajaan Pelalawan, mengambil sikap “menentang Siak”. Sikap penentangan ini dibuktikan dengan seluruh rumpun pisang yang berjantung ke arah Siak dipancung dan ayam yang berkokok  menghadap ke Siak dibunuh. Bukti penentangan terhadap Siakpun masih ada hingga saat ini, yaitu batu nisan Datuk Maharaja Sinda yang makamnya terletak di Desa Kuala Tolam, Kecamatan Pelalawan tetap condong ke Selatan, tidak ke Barat (ke arah Siak).
Sampai pada tahun 1798 M, Pasukan Siak Sri Indrapura yang dipimpin oleh Panglima Besar Syarif Abdurrahman (adik Sultan Syarif Ali Siak), kembali melakukan penyerangan terhadap Pelalawan. Serangan kedua tersebut dilakukan melalui dua arah, yaitu pasukan angkatan darat menyerang melalui hulu Sungai Rasau dan pasukan angkatan laut menyerang melalui muara Sungai Kampar. Pada pertempuran itu Panglima Besar Kerajaan Pelalawan satu persatu gugur, termasuk Panglima Kudin dan tunangannya Zubaidah yang gugur di benteng pertahanan Tanjung Pembunuhan. Kali ini Pelalawan takhluk dibawah tangan Syarif Abdurrahman. Lalu, Syarif Abdurrahman berdiri sebagai Raja Pelalawan yang diakui oleh KakaknyaSultan Syarif Ali dari Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Pemerintah Hindia Belanda dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Abdurrahman Fakhruddin. Setelah Sultan Syarif Abdurrahman mangkat. Takhta Kerajaan Pelalawan diwariskan secara turun temurun kepada anak cucu dari Sultan Syarif Abdurrahman sendiri.
Pada beberapa sumber menyebutkan, sebab kekalahan Pelalawan ialah dikarenakan adanya mata-mata dari Siak Sri Indrapura yang bernama "Kasim", menyirami seluruh mesiu di Benteng Pertahanan Mempusun dengan air sehingga tidak dapat digunakan lagi.
Akhir Kekuasaan
Pada masa Pemerintahan Sultan Syarif Harun (1940-1946), adalah masa pemerintahan yang paling sulit di Kerajaan Pelalawan. pada masa itu Indonesiasengsara di bawah penjajahan Jepang, rakyat menderita lahir batin. Penderitaan itu dirasakan pula oleh rakyat Pelalawan. Padi rakyat dicabut untuk kepentingan Jepang, orang-orang diburu untuk dijadikanromusha, dimana-mana terjadi kesewenang-wenangan.
Demi menjaga kemakmuran rakyat Pelalawan, pada tahun 1946 Sultan Syarif Harun mendarma baktikan Pelalawan kepada Pemerintah Indonesia Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Sultan Syarif Harun bersama Orang-orang Besar bersepakat menyatakan diri dan seluruh Rakyat Pelalawan ikut ke dalam Pemerintahan Republik Indonesia, dan siap sedia membantu perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan RepublikIndonesia. 
Pada tanggal 7 Agustus 2008, Lembaga Kerapatan Adat Melayu Kabupaten Pelalawan mengangkat Tengku Kamaruddin Haroen bin Sultan Syarif  Harun sebagai Sultan Pelalawan ke-10, dengan Gelar Sultan Assyaidis Syarif Kamaruddin Haroen.
Silsilah Para Raja
Berikut ini urutan penguasa di Pelalawan, sejak era pra Islam hingga era Islam:
Kerajaan Pekantua (1380-1505)
1- Maharaja Indera (1380-1420)
2- Maharaja Pura (1420-1445)
3- Maharaja Laka (1445-1460)
4- Maharaja Sysya (1460-1480)
5- Maharaja Jaya (1480-1505).
Kerajaan Pekantua Kampar (1505-1675)
1- Munawar Syah (1505-1511)
2- Raja Abdullah (1511-1515)
3- Sultan Mahmud Syah I (1526-1528 )
4- Raja Ali/Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528-1530)
5- Tun Perkasa/ Raja Muda Tun Perkasa (1530-1551)
6- Tun Hitam (1551-1575)
7- Tun Megat (1575-1590)
8- Raja Abdurrahman/Maharaja Dinda (1590-1630)
9- Maharaja Lela I/Maharaja Lela Utama (1630-1650)
10- Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 ).
Kerajaan Tanjung Negeri (1675-1725)
1- Maharaja Lela Utama (1675-1686)
2- Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691)
3- Maharaja Muda Lela (1691-1720)
4- Maharaja Dinda II (1720-1725).
Kerajaan Pelalawan (1725-1946)
1- Maharaja Dinda II/Maharaja Dinda Perkasa/Maharaja Lela Dipati (1725-1750)
2- Maharaja Lela Bungsu (1750-1775)
3- Maharaja Lela II (1775-1798)
4- Sayid Abdurrahman/Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822)
5- Syarif Hasyim (1822-1828)
6- Syarif Ismail (1828-1844)
7- Syarif Hamid (1844-1866)
8- Syarif Jafar (1866-1872)
9- Syarif Abubakar (1872-1886)
10- Tengku Sontol Said Ali (1886-1892 )
11- Syarif Hasyim II (1892-1930)
12- Tengku Sayid Osman/Pemangku Sultan (1930-1940)
13- Syarif Harun/Tengku Sayid Harun (1940-1946).
Periode Pemerintahan
Periode pemerintahan di Pelalawan dibagi menjadi dua: periode pra Islam dan pasca Islam. Pada era pra Islam, kerajaan ini masih bernama Pekantua. Sementara pada era Islam, ada tiga kali pergantian nama, dari Pekantua Kampar, kemudianTanjung Negeri, dan terakhir Pelalawan. Kerajaan ini eksis dari tahun 1380 hingga 1946.
Wilayah Kekuasaan.
Wilayah kerajaan ini mencakup daerah yang tidak terlalu luas, hanya Pelalawan dan sekitarnya.
Struktur Pemerintahan
Raja merupakan pimpinan tertinggi di kerajaan ini. Dalam menjalankan tugasnya, raja dibantu oleh Mangkubumi, dan beberapa Orang Besar yang mengepalai daerah tertentu dalam wilayah Kerajaan Pelalawan.
Peninggalan Kerajaan Pelalawan 
Istana Sayap
 
 
Istana Sayap merupakan sebutan bagi Istana Kesultanan Pelalawan, Istana ini awalnya dibangun oleh Sultan ke-7 Pelalawan Baru yang bernama Tengkoe Besaar Sontol Said Ali (1886 – 1892 M). namun dia wafat disaat bangunan Istana belum selesai. Selanjutnya pembangunan Istana ini diselesaikan oleh penerusnya Tengkoe Besaar Syarif Hasyim II (1892 – 1930 M).
Istana ini sebelumnya dinamakan “ISTANA UJUNG PANTAI”. Namun ketika Sultan Syarif Hasyim II melanjutkan pembangunan istana, ia membangun dua sayap disamping kanan dan kiri istana, yang dijadikan Balai. Maka istana inipun dinamakan “ISTANA SAYAP”. Bangunan di sebelah kanan istana (sebelah hulu) disebut “Balai Sayap Hulu” yang berfungsi menjadi kantor Sultan”, dan bangunan di sebelah kiri Istana (sebelah hilir) dinamanakan “Balai Hilir” yang berfungsi sebagai “Balai Penghadapan” bagi seluruh rakyat Pelalawan.
Banyak sekali filosofi yang terkandung pada bangunan Istana ini, namun sangat disayangkan bangunan Istana bersejarah ini sudah tidak dapat dilihat lagi, yang terisa saat ini hanyalah bangunan Istana Kanan atau Istana Sayap Kanan. karena dua bangunan yang merupakan Istana Tengah dan Istana Kiri sudah habis terbakar pada 19 Februari 2012.
Mesjid Hibbah
 
Masjid Hibbah Pelalawan dibangun tahun 1936, semasa pemerintahan Regent Tengkoe Pangeran Said Osman (1930 – 1941). Lokasi Masjid di tetapkan di pinggir sungai 'Naga Belingkar', mengingat tempat tersebut tak jauh dari bangunan Istana Pelalawan dan Rumah kediaman Sultan. Lokasi masjid ini berada di tengah-tengah dan mudah ditempuh dari segala pemukiman, baik dengan berjalan kaki maupun dengan menggunakan perahu.
Kata “ Hibbah “ untuk nama masjid tersebut diambil dari makna ‘pemberian (sumbangan). Karena Mesjid ini dibangun dari keikhlasan masyarakat pelalawan waktu itu yang bergotong royong tanpa terkecuali tua dan muda, laki-laki dan perempuan, dan pekerjaan tersebut dilaksanakan siang malam tanpa paksaan. Bahkan pada kegiatan tersebut Sultan dan para pembesar kerajaanpun ikut bekerja bersama rakyatnya.
Sebahagian besar bahan bangunannya terbuat dari  ‘teras laut’, kayu pilihan yang sengaja dipesan, sebagian lagi diramu oleh pemuda-pemuda di kawasan hutan. Sedangkan semen untuk tiang, kaca pintu, atap dan timah campuran bahan qubahnya merupakan sumbangan Sultan.
Masjid Hibbah bagaikan mahkota yang amat terpelihara, bahkan menurut penduduk setempat bangunan ini berharga melebihi bangunan Istana Sayap. Karena Mesjid tersebut merupakan wujud dari persaudaraan yang pernah mereka bangun dengan susah payah secara bersama-sama.
Meriam Perang 
 
Tidak jauh dari Istana Sayap, tepatnya di bagian hulu dapat dijumpai tempat dimana sebagian Meriam Peninggalan Kerajaan Pelalawan diletakkan. Sebagian meriam berwarna kuning dan sebagian lagi berwarna hitam, dahulunya meriam ini merupakan fasilitas pertahanan utama yang digunakan Kerajaan Pelalawan saat berperang melawan musuh.
Komplek Pemakaman Raja
Komplek pemakaman ini terdiri dari tiga bagian, yang masing-masing terpisah beberapa puluh meter dan memiliki bangunan pelindung sendiri-sendiri. Yakni makam Raja, makam Dekat dan makam Jauh.
Pemakaman utama disebut makam raja, terletak sekitar 50 meter dari Istana Sayap, tepatnya dibelakang Mesjid yang bernama Mesjid Hibbah. di sini bersemayan 3 (tiga) Raja Pelalawan diantaranya Sultan Syarif Hasyim (1894—1930), Regent Tengkoe Pangeran Said Osman (1931—1940), dan Sultan Syarif Haroen (1940—1946).
Selain Komplek pemakaman Raja, terdapat lagi dua pemakaman Raja yang bernama makam Jauh dan makam Dekat. Makam jauh dan makam dekat berisi Raja-raja para, para alim ulama, pembesar kerajaan, orang-orang yang berjasa serta kalangan keluarga dekat Kerajaan.
Peninggalan sejarah lainnya
Masih banyak lagi peninggalan-peninggalan sejarah Kerajaan Pelalawan yang berada di Komplek Kerajaan di desa Pelalawan, diantaranya seperti bangunan Pesenggerahan Panglima Kudin, Rumah kediaman Sultan Syarif Haroen (1940-1946), Rumah kediaman Regent Tengkoe Pangeran Said Osman (1931-1940), benda-benda kecil seperti stempel kerajaan, baju kebesaran Raja, tempat tidur Raja, alat tenun Tuan Putri, alat musik Istana, keris, tombak, perhiasan-perhiasan, gong, piring, dan benda-benda pusaka lainnya.
Sejarah Pelalawan Sebagai Kabupaten
Sebelum pemekaran terjadi, Kabupaten Pelalawan termasuk ke dalam bagian Kabupaten Kampar yang saat itu memiliki kawasan yang sangat luas. Kabupaten Pelalawan resmi dimekarkan pada tanggal 12 Oktober 1999, yang kemudian disahkan melalui Undang-undang Nomor 53 tahun1999 dengan ibu kotanya adalah Pangkalan Kerinci. 
Saat ini Kabupaten Pelalawan telah berkembang menjadi 12 daerah Kecamatan, terdiri atas 4 daerah Kecamatan Definitif serta 8 daerah Kecamatan Pembantu, diantaranya adalah sebagai berikut:
Kecamatan Definitif :
1. Kecamatan Langgam dengan luas 916,61 km2
2. Kecamatan Bunut dengan luas 1.339,96 km2
3. Kecamatan Pangkalan Kuras dengan luas 2.158,68 km2
4. Kecamatan Kuala Kampar dengan luas 4.656,34 km2
 Kecamatan Pembantu:
1. Kecamatan Pangkalan Kerinci dengan luas 616,40 km2
2. Kecamatan Ukui dengan luas 407,73 km2
3. Kecamatan Pelalawan dengan luas 930,63 km2
4. Kecamatan Pangkalan Lengsung dengan luas 472,73 km2
5. Kecamatan Kerumutan dengan luas 773,86 km2
6. Kecamatan Teluk Meranti dengan luas 217,49 km2
7. Kecamatan Bandar Petalangan dengan luas 365,26 km2
8. Kecamatab Bandang sekijang dengan luas, 98,90 km2
Saat ini Kabupaten Pelalawan telah berkembang pesat dengan pembangunan fisik yang cukup terlihat. Sebagai kabupaten yang masih baru, Pelalawan bisa dibilang sebagai kabupaten yang cukup maju.‎