Selasa, 22 September 2015

Sejarah Minangkabau



Sejarah Minangkabau Antara Fakta dan Logika
Berikut ini adalah kata sambutan salah seorang proklamator Indonesia Mohammad Hatta dalam buku Sejarah Minangkabau yang merupakan buku sejarah pertama mengenai Minangkabau:"Sampai saat ini belum ada buku yang menguraikan sejarah Minangkabau yang benar-benar merupakan buku sejarah. Yang ada ialah buku lukisan sepotong-potong. Ada pula diantaranya yang tidak membedakan yang benar dan yang dibuat-buat (Wahrheit und Dichtung). Sebab itu dapat dipuji keberanian lima orang muda sarjana sejarah untuk merintis kearah melukiskan sejarah Minangkabau. Mereka sendiri cukup insaf bahwa yang mereka sajikan masih berupa kerangka dan jauh daripada selesai. Mereka merupakan "satu pasukan" kecil perintis jalan dengan mengharapkan supaya tenaga-tenaga sejarah baru akan meneruskan dengan memperbaiki apa yang salah dan menambahkan apa yang kurang dengan bahan sejarah baru yang sekarang masih terpendam didalam buku Ibu Pertiwi.

Sejarah Minangkabau - Fakta dan Logika

Berikut ini adalah kata sambutan salah seorang proklamator Indonesia Mohammad Hatta dalam buku Sejarah Minangkabau yang merupakan buku sejarah pertama mengenai Minangkabau:
“Sampai saat ini belum ada buku yang menguraikan sejarah Minangkabau yang benar-benar merupakan buku sejarah. Yang ada ialah buku lukisan sepotong-potong. Ada pula diantaranya yang tidak membedakan yang benar dan yang dibuat-buat (Wahrheit und Dichtung). Sebab itu dapat dipuji keberanian lima orang muda sarjana sejarah untuk merintis kearah melukiskan sejarah Minangkabau. Mereka sendiri cukup insaf bahwa yang mereka sajikan masih berupa kerangka dan jauh daripada selesai. Mereka merupakan “satu pasukan” kecil perintis jalan dengan mengharapkan supaya tenaga-tenaga sejarah baru akan meneruskan dengan memperbaiki apa yang salah dan menambahkan apa yang kurang dengan bahan sejarah baru yang sekarang masih terpendam didalam buku Ibu Pertiwi.
Sudah terang bahwa yang mereka paparkan dalam buku ini akan ditinjau dan diuji secara kritis oleh sarjana lainnya. Tiap-tiap tinjauan kritis hendaklah menggerakkan niat dan usaha menggali lebih dalam dan mengumpulkan bahan sejarah lebih luas. Dengan jalan trial and error dan bantu membantu dalam pekerjaan, kebenaran sejarah akan bertambah banyak dan kekhilafan dan dugaan yang tidak berdasar akan bertambah kurang.
Sejarah maksudnya bukanlah menuliskan selengkap-lengkapnya fakta-fakta yang terjadi dimasa lalu, yang tidak mungkin terkerjakan oleh manusia. Tujuan sejarah ialah seperti yang dikemukakan oleh almarhum Prof. Dr. Huizinga dalam bukunya Cultuur Historische Verkenningen ialah memberi bentuk kepada masa yang lalu, supaya roman masa yang lalu itu jelas tergambar dimuka kita. Tiap-tiap yang terjadi ada sebabnya dan kemudian ada pula akibatnya. Rangkaian sebab dan akibat itu hendaklah terlukis pula gambaran sejarah yang dikupas itu.
Kesulitan yang dihadapi oleh ahli-ahli sejarah untuk menyusun perkembangan sejarah, dibagian manapun juga dalam wilayah Republik Indonesia, tidak sedikit. Bangsa Indonesia dimasa dahulu tidak biasa menuliskan fakta-fakta yang terjadi. Hanya beberapa tamasya dan kejadian yang dianggap penting saja yang dituliskan pada daun-daun lontar atau sebilah kulit kayu yang diiris tipis atau direkam pada batu sebagai peringatan. Banyak sudah dari peninggalan kabar orang dahulu itu yang ditemukan kembali, tetapi masih banyak pula yang belum, masih terpendam dalam pangkuan Ibu Pertiwi.
Mudah-mudahan kerja yang dimulai oleh lima sarjana sejarah ini, yang menggambarkan diri mereka dengan pepatah-petitih Minangkabau “umur baru setahun jagung, darah baru setampuk pinang” dapat mendorong pemuda-pemuda angkatan sekarang menggali sejarah dan mempertinggi kebudayan bangsa Indonesia. Mereka mengerjakan penelitian adalah suatu bagian penting dalam tujuan menuntut ilmu, ilmu manapun juga yang dituntut. Sebab ilmu pada umumnya tersusun dalam dua lapis yaitu: Fakta dan Logika.
Jakarta, 27 April 1970
Mohammad Hatta











Sawahlunto Kejayaan Kota Tambang Batubara Di Sumatera Barat

Bagi wisatawan yang datang ke Sumatera Barat, Sawahlunto menyimpan pesona tersendiri. Di sana, terlihat jelas jejak-jejak kejayaannya semasa menjadi kota tambang batubara. Kota Sawahlunto yang dibangun Belanda sekitar 123 tahun lalu memang didirikan karena temuan batubara oleh Hendrik De Greve. Padahal letak Sawahlunto saat itu sangat jauh di pedalaman Sumatera Barat.
Kandungan batubara yang besar di Sawahlunto telah menjadikan tempat itu sebagai kota penting di Sumatera pada masa lalu. Cadangan “emas hitam” dalam jumlah besar ini menarik Pemerintahan Hindia Belanda untuk berinvestasi 5,5 juta gulden, termasuk untuk membangun Pelabuhan Emma Haven, kini menjadi Pelabuhan Teluk Bayur di Padang. Tujuannya: memperlancar ekspor hasil tambang tersebut.
Pemerintah Kolonial Belanda juga membangun jalur kereta api dari Emma Haven ke Sawahlunto sepanjang 155,5 kilometer. Ribuan pekerjanya didatangkan dari Jawa dan daerah lainnya. Sebagian besar bahkan para kuli paksa, yaitu para narapidana dari sejumlah penjara dengan kaki terantai. Karena itu mereka disebut ‘orang rantai’. Setelah proyek rel kereta api selesai, “orang rantai’ ini kemudian dijadikan buruh tambang.
Sebagai kota tua, Sawahlunto penuh dengan bangunan lawas. Salah satunya adalah bekas bangunan pembangkit listrik pertama di Sawahlunto yang dibangun pada 1894, yang kini menjadi Masjid Raya Nurul Iman. Tepat di bawah masjid, terdapat bunker yang dulu pernah digunakan sebagai tempat merakit senjata, mortar, dan granat tangan. Cerobong asap pembangkit listrik tenaga uap setinggi 80 meter juga masih berdiri. Cerobong asap itu kini menjadi menara mesjid.
Bangunan tua lainnya adalah gedung megah kantor pertambangan PTBA-UPO dengan halaman yang luas. Gedung bergaya kolonial Belanda itu didirikan pada 1916 dengan nama Ombilin Meinen dan berfungsi sebagai kantor pertambangan hingga sekarang.
Hanya berjarak 200 meter, terdapat gedung Pusat Kebudayaan, yang dibangun pada 1910. Dulu dijadikan gedung pertemuan dengan nama “Gluck Auf”. Di sini pejabat kolonial berkumpul, berdansa, bernyanyi, sambil menikmati minuman. Kini dijadikan tempat untuk pentas seni dan pameran lukisan.
Kejayaan tambang batubara Sawahlunto juga terlihat pada bangunan silo yang masih berdiri kokoh di kawasan Saringan. Silo ini berbentuk tiga silinder besar yang berfungsi sebagai penimbun batubara yang telah dibersihkan dan siap diangkut ke Pelabuhan Teluk Bayur. Setiap hari sirene silo berbunyi tiga kali, yakni pukul 07.00, 13.00, dan 16.00. Suara nyaring itu penanda jam kerja “orang rantai”.
Stasiun kereta api Sawahlunto, kini menjadi Museum Kereta Api. Kereta api pengangukut batubara sudah hampir 10 tahun terhenti seiring dengan menipisnya cadangan tambang batubara di Sawahlunto. Tapi kini di stasiun itu juga menjadi rumah “Mak Itam”, lokomotif uap untuk wisatawan. Inilah kereta api uap langka di dunia. Jumlahnya kini hanya lima buah.
Lokomotif uap E1060 yang dibuat oleh Esslingen, Jerman, ini menjadi ikon pariwisata Sawahlunto. Dulu beroperasi dari stasiun kereta api yang dibangun pada 1918 ini dengan mengangkut batu bara ke Pelabuhan Teluk Bayur, Padang.
Kereta api ini dibawa tiga tahun lalu dari Ambarawa. Sebelumnya, loko uap ini memang milik Sawahlunto saat tambang batu bara masih berjaya. Mak Itam hanya digunakan untuk jalur pendek dari Sawahlunto ke Muara Kalaban sejauh 7 kilometer. Kereta ini mengantar wisatawan menikmati pemandangan “Lubang Kalam” atau terowongan sepanjang 900 meter. Loko berbahan bakar batu bara ini bergandengan dengan gerbong kayu untuk membawa penumpang.
Bila mengunjungi Sawahlunto, jangan lupa menengok lubang tambang batubara pertama di Sawahlunto. Lubang tambang itu dibangun pada 1896 oleh orang rantai yang dipimpin seorang mandor bernama Suro. Terowongan bekas penambangan dipugar dan dijadikan museum tambang batu bara. Panjang terowongan ini ratusan meter, tapi baru 186 meter yang dipugar, dibersihkan, dan diberi blower udara untuk menambah udara.
Pengunjung bisa masuk ke dalamnya dan merasakan suasana bekas lorong penambangan batu bara. Terowongan bekas lubang tambang ini amat nyaman, dan aman, karena ada udara yang dialirkan dari blower serta dilengkapi kamera pengintai (CCTV) yang dipantau petugas di gedung Info Box.
Lebar lubang tambang ini dua meter dengan ketinggian dua meter. Dulu lorong ini digunakan untuk mengangkut batu bara dari penambangan di bawah Kota Sawahlunto. Dinding lorong terlihat hitam berkilat karena masih mengandung batu bara kualitas super, yaitu 6.000 hingga 7.000 kalori. Sebelum 1930, Belanda menutup lubang ini karena dekatnya lubang tambang dengan Sungai Lunto, yang mengakibatkan derasnya rembesan air.
Jelajahi pula Museum Gudang Ransum. Di sana kita dapat menyaksikan suasana di zaman tambang dari ratusan foto hitam putih yang tergantung di dinding. Foto-foto lama yang menggambarkan suasana di zaman penambangan batu bara oleh Belanda, pekerja tambang, dan orang rantai. Gudang Ransum ini didirikan pada 1918 dan berfungsi sebagai dapur umum tempat memasak makanan serta memenuhi kebutuhan makanan bagi pekerja tambang dan rumah sakit Sawahlunto, yang berjumlah ribuan orang. Bangunannya terdiri atas dapur umum, gudang es, gudang makanan mentah, gudang beras, menara asap, dan power strom.
Ada tiga bangunan besar, dua di antaranya berfungsi sebagai gudang ransum atau tempat makan ribuan kuli tambang, termasuk orang rantai. Para pekerja tambang ini berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. Di museum ini terdapat beberapa batu nisan orang rantai yang hanya ditulisi angka.
Satu bangunan lain berfungsi sebagai dapur umum atau tempat memasak. Setiap hari pada masa itu dimasak 65 pikul beras atau hampir 4.000 kilogram beras. Sistem memasak juga dengan menggunakan tekanan uap yang dialirkan melalui pipa-pipa besar di bawah dapur. Peralatan masak yang digunakan terdiri dari paci berukuran besar.
Era kejayaan tambang batubara dan tragedi orang rantai di Sawahlunto terawat rapi oleh pemerintah kota Sawahlunto. Wali Kota Sawahlunto Amran Nur, dalam delapan tahun terakhir telah menyulap “rongsokan” bekas peninggalan kota tambang menjadi museum hidup untuk wisata sejarah.
Sawahlunto kini menjadi kota kecil yang nyaman untuk tempat wisatawan melihat jejak kota tambang batubara.Menurut Amran, Kota Sawahlunto sedang diusulkan menjadi kota warisan dunia ke Unesco. “Apalagi Sawahlunto juga sudah ditetapkan menjadi salah satu kota tua terbaik di Indonesia,” kata Amran Nur.

Konflik Semanjung Malaya Dari Kerajaan Chola Hingga VOC Belanda

Konflik militer di Semenanjung Malaya, yang kini menjadi bagian dari Kerajaan Malaysia, memiliki sejarah panjang. Serangan militer penting yang terekam sejarah bermula dari ekspedisi laut Kerajaan Chola di India Selatan yang berpusat di Delta Sungai Kaveri di Kota Nagapattinam.
Kerajaan Chola yang muncul tahun 985 Masehi menurut sejarawan Herman Kulke dalam buku Nagapattinam to Suvarnadwipa, Reflections on the Chola Naval Expeditions to Southeast Asia merupakan salah satu dinasti terkuat di dunia pada abad ke-10. Kekuatan superpower lain kala itu adalah Dinasti Fatimiyah di Mesir yang muncul tahun 969 Masehi dan Dinasti Sung di Tiongkok yang muncul tahun 960 Masehi.
Raja bernama Rajaraja dari Kerajaan Chola mengembangkan kekuasaan di India Selatan, Sri Lanka, hingga Kepulauan Maladewa. Ketika itu perdagangan antara Kerajaan Pagan di Myanmar modern, Kerajaan Sriwijaya di Sumatera, dan Kerajaan Tiongkok berkembang pesat.
Kerajaan Sriwijaya pun hidup makmur dari perdagangan dengan bangsa-bangsa lain. Kerajaan Sriwijaya, yang berkuasa hingga Semenanjung Malaya dan sebelah selatan Kerajaan Thailand modern di sekitar Surat Thani, memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Tiongkok.
Herman Kulke menulis, Kerajaan Chola yang mengirim utusan ke Tiongkok pada 1015 mendapat informasi intelijen tentang kekuatan Sriwijaya saat singgah di Sumatera. Informasi itu menjadi dasar serangan kekuatan laut Raja Rajendra Chola I (1014-1044) tahun 1025 ke Sriwijaya (Palembang), Malayu (Jambi), Pannai di sekitar Riau Daratan dan wilayah yang kini jadi Malaysia modern di Kadaram (Kedah), Ilangasokam di Trengganu-Pattani. Serangan itu memorakporandakan Semenanjung Malaya dan Sumatera.
Situasi damai tercipta di Semenanjung Malaya setelah serangan Kerajaan Chola. Kerajaan Malaka (1402) yang dipimpin Parameswara, seorang keturunan Majapahit yang berasal dari Sumatera, menjadi kekuatan perdagangan di kawasan tersebut.
Seiring dengan penjelajahan bangsa Eropa yang dipelopori Portugal dan Spanyol, Malaka dan Semenanjung Malaya pun menjadi incaran mereka. Secara berurutan, Portugis menaklukkan Cochin di India tahun 1502, Pulau Sokotra (sekarang wilayah Yaman) tahun 1056, dan Goa di pantai barat India dikuasai tahun 1510. Misi dagang Portugis pertama ke Malaka tahun 1509 berakhir dengan pertempuran karena para pedagang India memberikan kabar tentang ekspansi militer Portugis di India kepada Kesultanan Malaka. Portugis kehilangan dua dari lima kapal dan prajurit mereka di Malaka.
Ruud Spruit dalam buku The Land Of The Sultans menjelaskan, Belanda melalui Serikat Dagang Hindia Timur (VOC atau Kompeni) berusaha merebut Malaka, tetapi gagal. Demi persaingan ekonomi, Belanda pun mendirikan Batavia (kini Kota Jakarta) dari puing-puing Jayakarta pada tahun 1619.
Persaingan Malaka-Batavia terus berlangsung. VOC memutuskan merebut Malaka dengan pengepungan bulan Agustus tahun 1640. Pertempuran berjalan alot, baru pada tanggal 14 Januari, Malaka menjadi milik VOC.
Belakangan, seiring kekalahan Belanda dalam perang melawan Inggris, Malaka pun dikuasai Inggris. Selanjutnya Malaka ditukar Belanda kepada Inggris selepas perang Napoleon di Asia yang berakhir dengan kekalahan Perancis-Belanda di Jawa, bulan September tahun 1811.
Gabungan kemapanan ekonomi dan teknologi militer menjadi landasan utama untuk menyerang serta menguasai Semenanjung Malaya pada masa Sriwijaya hingga awal kedatangan kolonialisme Portugis-Belanda.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar