Asal Usul Kerajaan Pelalawan
Berasal dari kata
dasar "Lalau", yang berarti "Cadang",
disebutlah daerah Pe-lalau-an atau daerah Pen-cadang-an (tempat
yang pernah dicadangkan). Kerajaan ini merupakan sebuah Negeri yang sebelumnya
bernama Kerajaan
Tanjung Negeri, dibawah pimpinan
Maharaja Dinda II sebagai Rajanya (1720 - 1750 M), dan berdiri dibawah kekuasaan Sultan
Johor sebagai Yang
Dipertuan Tinggi.
Diawali sekitar
tahun 1725 M, Maharaja Dinda II memindahkan Pusat
Kerajaan Tanjung Negeri dari Sungai Nilo ke Hulu Sungai Rasau. Hal ini terjadi
dikarenakan wabah penyakit yang menyerang rakyat Tanjung Negeri sejak masa
kekuasaan leluhurnya Maharaja Wangsa Jaya (1686 - 1691 M). Seiring perpindahan tersebutlah Maharaja
Dinda II mengubah nama Kerajaan Tanjung Negeri menjadi Kerajaan
Pelalawan.
Pertikaian Siak Sri Indrapura dan
Pelalawan
Pada Masa Pemerintahan
Maharaja Lela II (1775 M
- 1798 M), banyak kemelut yang terjadi di Kesultanan
Johor, yaitu sisa-sisa
pertikaian takhta antara Raja
Kecil dan Bendahara
Padang Saujana Abdul Jalil pada tahun 1722. Bendahara Padang Saujana dan
anaknya Tengku Sulaiman (kemudian menjadi Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah
Johor) berpakat dengan Bugis 5 bersaudara (Daeng Parani, Daeng Merewah, Daeng Menambun, Daeng Kemasi dan Daeng
Chelak) untuk mengusir Raja
Kecil dari takhta Johor.Raja Kecil dikalahkan dan lari ke Siak menubuhkan Kesultanan Siak Sri Indrapura yang kekuasaannya mengambil tanah bekas
jajahan Johor di pulau Sumatra. Karena tidak bersedia tunduk dan mengakui
kekuasaan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah akan takhta Johor yang direbutnya,
karena masalah itulah Maharaja Lela II memisahkan diri dari Kekuasaan Johor.
Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa penguasa Kesultanan
Johor bukan lagi dari
keturunan leluhurnya Sultan
Alauddin Riayat Syah II (Malaka)
tapi dari wangsa Bendahara yang merampas takhta.
Sehubungan dengan hal
itu, Sultan Syarif Ali Raja Siak Sri Indrapura (1784-1811) menuntut agar Kerajaan Pelalawan mengakuiKesultanan Siak sebagai Yang Dipertuannya, mengingat
beliau adalah pewaris sah Raja Kecil, putra Sultan Mahmud Shah II (SultanJohor terdahulu). Namun Maharaja Lela II
menolaknya sehingga memicu pertikaian antara Siak Sri Indrapura dan Pelalawan.
Serangan Siak Sri Indrapura ke
Pelalawan
Dalam catatan sejarah,
terdapat dua kali serangan Pasukan Besar Siak Sri Indrapura ke Pelalawan
melalui air dan darat. Peristiwa ini terjadi antara tahun 1797 - 1810 M. Pada perang inilah beberapa Tokoh
terkenal muncul, seperti Said Osman Syahabuddin, Datuk Maharaja Sinda, Panglima Kudin dan
gurunya Panglima Katan, Panglima Hitam, Hulubalang Engkok, Cik Jeboh, Panglima
Garang dan sebagainya.
Pada masa itu,
Kerajaan Siak Sri Indrapura melalui penasehat istana mereka yang bernama Said
Osman Syahabuddin (Ayah dari Sultan Syarif Ali penguasa Siak kala itu), berencana melakukan penyerangan
ke Pelalawan melalui jalur air Sungai Kampar, hal itu dilakukan mengingat
benteng pertahanan Pelalawan yang terletak di kuala Sungai Mempusun. Demi
mempersiapkan penyerangannya, Said Osman Syahabuddin beserta pengikutnya
menyiapkan sebuah kapal perang yang bernama "Kapal Baheram", kapal
besar Siak dengan rancangan militer yang kokoh.
Diperkirakan pada awal
tahun 1797 M, Said Osman Syahabuddin beserta
pasukannya melancarkan serangan ke Pelalawan menggunakan Kapal Baheram.
Setibanya mereka di kuala mempusun, terjadilah peperangan antara pasukan Said
Osman Syahabuddin yang disambut oleh Pasukan Pelalawan dibawah pimpinan
Hulubalang Engkok, perang sengitpun terjadi. Pada pekan pertama, Kapal Baheram
Said Osman Syahabuddin terkena hantaman Meriam dari pasukan Hulubalang Engkok,
Kapal Baheram mengalami kerusakan, dan memaksa Said Osman Syahabuddin
memundurkan sementara pasukannya. Setelah berhasil mundur, Said Osman
Syahabuddin beserta awak kapalnya mendiami suatu teluk, yang sekarang dinamakan
"Teluk Mundur" di sebelah hilir Kuala Mempusun. Di Teluk Mundur ia
kembali mengatur serangan, lalu dengan segera melakukan serangan ke duanya ke
Benteng Mempusun. Setelah perang terjadi beberapa hari, Kapal Baheram mendapat
kerusakan yang semakin parah, dan tidak dapat melanjutkan peperangan lagi. Lalu
pada sorenya Said Osman Syahabuddin memutuskan mundur dan kembali ke Siak Sri
Indrapura menggunakan Kapal Baheram yang dalam keadaan rusak parah. Sesampainya
mereka di seberang kampung Ransang, Kapal Baherampun tenggelam. Dan sejak saat
itu, wilayah tersebut dinamakan "Rasau Baheram", namun Said Osman
Syahabuddin dan pasukannya berhasil kembali ke Siak Sri Indrapura dengan
selamat melalui jalan darat.
Setelah Pasukan Said
Osman Syahabuddin mundur, keluar satu pantun terkenal di masyarakat Pelalawan
saat itu, yang berbunyi sebagai berikut :
·
Empak-empak
diujung Galah
·
Anak
Toman disambar Elang
·
Pelalawan
dirompak, haram tak kalah
·
Baheram
Osman berlayar pulang.
Perebutan Kekuasaan Pelalawan
Sekembalinya
pasukan Sayyed
Osman Syahabuddin ke Siak Sri
Indrapura, kebencian Pelalawan semakin dalam meskipun tidak ada konflik
langsung yang terjadi antara Siak Sri Indrapura dan Pelalawan dalam beberapa
tahun. Pada masa itu, Datuk Maharaja Sinda dan Pembesar Kerajaan Pelalawan,
mengambil sikap “menentang Siak”. Sikap penentangan ini dibuktikan dengan
seluruh rumpun pisang yang berjantung ke arah Siak dipancung dan ayam yang
berkokok menghadap ke Siak dibunuh. Bukti penentangan terhadap Siakpun
masih ada hingga saat ini, yaitu batu nisan Datuk Maharaja Sinda yang makamnya
terletak di Desa Kuala Tolam, Kecamatan Pelalawan tetap condong ke Selatan,
tidak ke Barat (ke arah Siak).
Sampai pada
tahun 1798 M, Pasukan Siak Sri Indrapura yang
dipimpin oleh Panglima Besar Syarif Abdurrahman (adik Sultan Syarif Ali Siak), kembali melakukan penyerangan terhadap Pelalawan.
Serangan kedua tersebut dilakukan melalui dua arah, yaitu pasukan angkatan
darat menyerang melalui hulu Sungai Rasau dan pasukan angkatan laut menyerang
melalui muara Sungai Kampar. Pada pertempuran itu Panglima Besar Kerajaan
Pelalawan satu persatu gugur, termasuk Panglima Kudin dan tunangannya Zubaidah
yang gugur di benteng pertahanan Tanjung Pembunuhan. Kali ini Pelalawan takhluk
dibawah tangan Syarif Abdurrahman. Lalu, Syarif Abdurrahman berdiri sebagai
Raja Pelalawan yang diakui oleh Kakaknya Sultan Syarif Ali dari Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Pemerintah Hindia
Belanda dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Abdurrahman Fakhruddin.
Setelah Sultan Syarif Abdurrahman mangkat. Takhta Kerajaan Pelalawan diwariskan
secara turun temurun kepada anak cucu dari Sultan Syarif Abdurrahman sendiri.
Pada beberapa sumber
menyebutkan, sebab kekalahan Pelalawan ialah dikarenakan adanya mata-mata dari
Siak Sri Indrapura yang bernama "Kasim", menyirami seluruh mesiu di
Benteng Pertahanan Mempusun dengan air sehingga tidak dapat digunakan lagi.
Akhir Kekuasaan
Pada masa Pemerintahan
Sultan Syarif Harun (1940-1946), adalah masa pemerintahan yang paling sulit
di Kerajaan Pelalawan. pada masa itu Indonesia sengsara di bawah penjajahan Jepang, rakyat menderita lahir batin. Penderitaan
itu dirasakan pula oleh rakyat Pelalawan. Padi rakyat dicabut untuk kepentingan
Jepang, orang-orang diburu untuk dijadikan romusha, dimana-mana terjadi kesewenang-wenangan.
Demi menjaga
kemakmuran rakyat Pelalawan, pada tahun 1946 Sultan Syarif Harun mendarma
baktikan Pelalawan kepada Pemerintah Indonesia Setelah kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan, Sultan Syarif Harun bersama Orang-orang Besar bersepakat
menyatakan diri dan seluruh Rakyat Pelalawan ikut ke dalam Pemerintahan
Republik Indonesia, dan siap sedia membantu perjuangan dalam mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada tanggal 7 Agustus
2008, Lembaga Kerapatan Adat Melayu Kabupaten Pelalawan mengangkat Tengku Kamaruddin
Haroen bin Sultan Syarif Harun sebagai Sultan Pelalawan ke-10, dengan
Gelar Sultan Assyaidis Syarif Kamaruddin Haroen.
ISTANA SAYAP awalnya dibangun oleh Sultan Pelalawan
ke 29, yakni Tengku Sontol Said Ali (1886 – 1892 M). Sebelum bangunan itu
selesai, beliau mangkat digelar Marhum Mangkat di Balai. Selanjutnya
pembangunan Istana ini diteruskan sampai selesai oleh pengganti beliau yakni
Sultan Syarif Hasyim II (1892 – 1930 M).
Pada awalnya pusat kerajaan Pelalawan berada di Sungai Rasau (anak sungai Kampar), berlokasi di Kota Jauh dan Kota Dekat. Ketika Tengku Sontol Said Ali menjadi Sultan Pelalawan, beliau berazam memindahkan istananya dari sungai Rasau ke pinggir sungai Kampar, tepatnya di muara sungai Rasau yang disebut “Ujung Pantai”. Karenanya, istana ini dinamakan pula “ISTANA UJUNG PANTAI”. Namun ketika Sultan Syarif Hasyim II melanjutkan pembangunan istana yang masih terbengkalai karena mangkatnya Sultan Tengku Sontol Said Ali, maka beliau membangun dua sayap disamping kanan dan kiri istana, yang dijadikan Balai. Maka istana inipun dinamakan “ISTANA SAYAP”. Bangunan di sebelah kanan istana (sebelah hulu) disebut “Balai Sayap Hulu” yang berfungsi menjadi kantor Sultan”, dan bangunan di sebelah kiri Istana (sebelah hilir) dinamanakan “Balai Hilir” yang berfungsi sebagai “Balai Penghadapan” bagi seluruh rakyat Pelalawan.
Sekitar tahun 1896 M bangunan istana Sayap selesai seluruhnya, dan Sultan Syarif Hasyim II berpindah dari Istana Kota Dekat di sungai Rasau ke Istana Sayap di Ujung Pantai. Sejak itu, pusat pemerintahan kerajaan Pelalawan menetap di pinggir sungai Kampar yang sekarang menjadi Desa Pelalawan, dan Ibukota Kecamatan Pelalawan.
Untuk mengenang jasa Sultan Syarif Hasyim II yang memindahkan pusat pemerintahan kerajaan Pelalawan dari sungai Rasau ke pinggir sungai Kampar dimaksud, ketika mangkatnya beliau digelar “MARHUM KAMPAR II. (Marhum Kampar I adalah Sultan Mahmud Syah I, Sultan Melaka terakhir yang mangkat di Pekantua Kampar 1528 M).
FILOSOFI ISTANA SAYAP
Dahulu, setiap bangunan dirancang secara cermat, disempurnakan dengan berbagai syimbol dan makna, agar memberikan kenyamanan, kesejahteraan dan manfaat yang besar bagi penghuni dan pemiliknya. Acuan ini menyebabkan pembangunan Istana Sayap dirancang dengan berbagai pertimbangan, sehingga wujudlah tiga bangunan. Bangunan pertama adalah Bangunan Induk, sedangkan bangunan kedua dan ketiga yang terletak di samping kanan dan kiri bangunan induk dinamakan bangunan “Sayap Kanan” dan “Sayap Kiri”.
Di dalam budaya Melayu Riau, khasnya di kerajaan Pelalawan, setiap bangunan resmi terdiri dari bangunan Induk dan bangunan lainnya, yang lazim disebut “bangunan anak” atau “Bangunan Sayap”. Bila letaknya kearah belakang atau kemuka, dan menyatu dengan bangunan Induk, lazimnya disebut bangunan Anak, (selanjutnya disebut pula Selasar depan, selasar Belakang, Selasar Dalam, Selasar Luar, Selasar Jatuh, Gajah Menyusur dan sebagainya). Bila bangunan itu berada agak terpisah dan terletak simitris sebelah kanan dan kiri bangunan Induk, disebut “Sayap”. Lazimnya, bangunan Sayap hanya terdapat pada Istana Raja.
Di Istana Sayap, bangunan Induk adalah tempat Sultan beserta keluarga dan orang-orang yang bertugas di sana. Di bangunan ini pula terdapat ruang Penghadapan (ruang Peterakna), bilik tidur, dan ruangan anjungan yang diisi dengan segala alat dan kelengkapan kerjaaan. Menyatu dengan bangunan Induk, disebelah depan terdapat ruang Selasar Dalam dan Selasar Luar untuk tempat menghadap rakyat dan Orang-orang Besar Kerajaan. Di bagian belakang bangunan Induk ada ruangan Telo, dan di belakangnya lagi adalah ruangan Penanggah, tempat kegiatan pekerja rumah tangga Istana dan kelengkapan jamuan dan sebagainya.
Bangunan Induk mencerminkan Sultan sebagai “induk” dari rakyatnya, sesuai dengan ungkapan adat yang mangatakan :
“yang ayam ada induknya
Yang serai ada rumpunnya
Yang sungai ada guguknya
Yang keris ada hulunya
Yan tombak ada gagangnya
Yang rumah ada tuannya
Yang kampong ada penghulunya
Yang negeri ada rajanya”
Pembagian tata ruang diatur sesuai menurut ketentuan adat yang berlaku, sehingga siapaun yang masuk ke bangunan itu akan tahu dimana ia duduk dan dimana ia berdiri. Di dalam ungkapan adat dikatakan :
“Adat masuk ke rumah orang
Tahu duduk dengan tegaknya
Tahu susun dengan letaknya
Tahu atur dengan haknya
Tahu alur dengan patutnya”
Bangunan Anak yang disebut Sayap dibuat khusus dengan ukuran dan bentuk yang sama. Ketentuan ini mencerminkan kehidupan yang seimbang dan setara, adil dan tidak berat sebelah. Di dalam ungkapan adat dikatakan :
“Rumah Induk ada Anaknya
Anak di kanan anak di kiri
Anak dibuat sama setara
Sama bentuk dengan ukurnya
Sama jauh dengan dekatnya
Sama padan dengan takahnya
Tanda adil sama dijunjung
Tanda menimbang sama berat
Tanda mengukur sama panjang
Tanda menyukat sama penuh
Tanda berlaba sama mendapat
Tanda hilang sama merugi
Tanda berat sama dipikul
Tanda ringan sama dijinjing
Tanda ke laut sama berbasah
Tanda ke darat sama berkering
Tanda senasib sepenanggungan
Tanda seaib sama semalu”
Di dalam menentukan fungsi bangunan, maka Bangunan Induk tetap dijadikan teraju dan pucuk dari semua aktivitas dan makna di dalam kerajaan itu, Di dalam ungkapan adat dikatakan :
“Di dalam bangunan Induk
Terkandung tuah dengan marwah
Terkandung petuah dengan amanah
Terkandung janji dengan sumpah
Terkandung daulat dengan martabat
Terkandung makna dengan hakikat
Terkandung kasih dengan sayang
Terkandung beban berkepanjangan
Terkandung hutang tak berkesudahan
Hutang ke Allah hutang ke rakyat
Hutang tak dapat dibelah bagi
Hutang tak dapat diingkar-ingkari
Hutang amanah menebus sumpah”
Di dalam memfungsikan bangunan Sayap, ditetapkan, bahwa Sayap Kanan, yakni sebelah hulu dijadikan kantor Sultan, sesuai dengan ungkapan adat:
“Yang raja memegang hulu
Hulu bicara hulu rundingan
Hulu petuah hulu amanah
Hulu titah membawa berkah
Hulu nasehat membawa berkat”
“Di Sayap Kanan raja duduk
Mencari runding pada yang elok
Di sana yang kusut diselesaikan
Di sana yang keruh dijernihkan
Di sana yang bengkok diluruskan
Disana yang salah dibetulkan
Disana yang kesat diampelas
Disana yang berbongkol sama ditarah
Disana yang sumbang diperbaiki
Disana yang janggal dielokkan
Disana hukum ditegakkan”
Sedangkan bangunan Sayap sebelah kiri bangunan Induk, yakni yang sebelah hilir, dijadikan tempat menghadap rakyat kerajaan, sesuai dengan ungkapan adat:
“Yang rakyat memberi ingat
Memberi bakti serta pendapat
Memberi setia serta amanat
Supaya berjalan tak salah langkah
Supaya bercakap tak salah ucap
Supaya memerintah tak salah titah
Supaya berjalan tak salah pedoman
Supaya berlayar kearah yang benar
Disana tangan bebas melenggang
Disana kaki bebas melangkah
Disana lidah bebas bercakap
Disana janji sama diikat
Disana amanah dipegang erat”
Selain itu, simbol-simbol yang mengandung nilai-nilai luhur dan budaya tempatan tercermin pula dalam berbagai ornament dan sebagainya yang intinya mengacu kepada keutamaan raja dan raknyatnya yang hidup tersebati, menyatu bagaikan mata putih dengan mata hitam, sehingga rusak yang putih binasa yang hitam, dan rusak yang hitam binasa yang putih. Bersebatinya pemimpin dengan rakyatnya, serta mewujudkan kehidupan yang sejahtera lahiriah dan batiniah.
Pekanbaru, Juli 2006
Tenas Effendy
Pada awalnya pusat kerajaan Pelalawan berada di Sungai Rasau (anak sungai Kampar), berlokasi di Kota Jauh dan Kota Dekat. Ketika Tengku Sontol Said Ali menjadi Sultan Pelalawan, beliau berazam memindahkan istananya dari sungai Rasau ke pinggir sungai Kampar, tepatnya di muara sungai Rasau yang disebut “Ujung Pantai”. Karenanya, istana ini dinamakan pula “ISTANA UJUNG PANTAI”. Namun ketika Sultan Syarif Hasyim II melanjutkan pembangunan istana yang masih terbengkalai karena mangkatnya Sultan Tengku Sontol Said Ali, maka beliau membangun dua sayap disamping kanan dan kiri istana, yang dijadikan Balai. Maka istana inipun dinamakan “ISTANA SAYAP”. Bangunan di sebelah kanan istana (sebelah hulu) disebut “Balai Sayap Hulu” yang berfungsi menjadi kantor Sultan”, dan bangunan di sebelah kiri Istana (sebelah hilir) dinamanakan “Balai Hilir” yang berfungsi sebagai “Balai Penghadapan” bagi seluruh rakyat Pelalawan.
Sekitar tahun 1896 M bangunan istana Sayap selesai seluruhnya, dan Sultan Syarif Hasyim II berpindah dari Istana Kota Dekat di sungai Rasau ke Istana Sayap di Ujung Pantai. Sejak itu, pusat pemerintahan kerajaan Pelalawan menetap di pinggir sungai Kampar yang sekarang menjadi Desa Pelalawan, dan Ibukota Kecamatan Pelalawan.
Untuk mengenang jasa Sultan Syarif Hasyim II yang memindahkan pusat pemerintahan kerajaan Pelalawan dari sungai Rasau ke pinggir sungai Kampar dimaksud, ketika mangkatnya beliau digelar “MARHUM KAMPAR II. (Marhum Kampar I adalah Sultan Mahmud Syah I, Sultan Melaka terakhir yang mangkat di Pekantua Kampar 1528 M).
FILOSOFI ISTANA SAYAP
Dahulu, setiap bangunan dirancang secara cermat, disempurnakan dengan berbagai syimbol dan makna, agar memberikan kenyamanan, kesejahteraan dan manfaat yang besar bagi penghuni dan pemiliknya. Acuan ini menyebabkan pembangunan Istana Sayap dirancang dengan berbagai pertimbangan, sehingga wujudlah tiga bangunan. Bangunan pertama adalah Bangunan Induk, sedangkan bangunan kedua dan ketiga yang terletak di samping kanan dan kiri bangunan induk dinamakan bangunan “Sayap Kanan” dan “Sayap Kiri”.
Di dalam budaya Melayu Riau, khasnya di kerajaan Pelalawan, setiap bangunan resmi terdiri dari bangunan Induk dan bangunan lainnya, yang lazim disebut “bangunan anak” atau “Bangunan Sayap”. Bila letaknya kearah belakang atau kemuka, dan menyatu dengan bangunan Induk, lazimnya disebut bangunan Anak, (selanjutnya disebut pula Selasar depan, selasar Belakang, Selasar Dalam, Selasar Luar, Selasar Jatuh, Gajah Menyusur dan sebagainya). Bila bangunan itu berada agak terpisah dan terletak simitris sebelah kanan dan kiri bangunan Induk, disebut “Sayap”. Lazimnya, bangunan Sayap hanya terdapat pada Istana Raja.
Di Istana Sayap, bangunan Induk adalah tempat Sultan beserta keluarga dan orang-orang yang bertugas di sana. Di bangunan ini pula terdapat ruang Penghadapan (ruang Peterakna), bilik tidur, dan ruangan anjungan yang diisi dengan segala alat dan kelengkapan kerjaaan. Menyatu dengan bangunan Induk, disebelah depan terdapat ruang Selasar Dalam dan Selasar Luar untuk tempat menghadap rakyat dan Orang-orang Besar Kerajaan. Di bagian belakang bangunan Induk ada ruangan Telo, dan di belakangnya lagi adalah ruangan Penanggah, tempat kegiatan pekerja rumah tangga Istana dan kelengkapan jamuan dan sebagainya.
Bangunan Induk mencerminkan Sultan sebagai “induk” dari rakyatnya, sesuai dengan ungkapan adat yang mangatakan :
“yang ayam ada induknya
Yang serai ada rumpunnya
Yang sungai ada guguknya
Yang keris ada hulunya
Yan tombak ada gagangnya
Yang rumah ada tuannya
Yang kampong ada penghulunya
Yang negeri ada rajanya”
Pembagian tata ruang diatur sesuai menurut ketentuan adat yang berlaku, sehingga siapaun yang masuk ke bangunan itu akan tahu dimana ia duduk dan dimana ia berdiri. Di dalam ungkapan adat dikatakan :
“Adat masuk ke rumah orang
Tahu duduk dengan tegaknya
Tahu susun dengan letaknya
Tahu atur dengan haknya
Tahu alur dengan patutnya”
Bangunan Anak yang disebut Sayap dibuat khusus dengan ukuran dan bentuk yang sama. Ketentuan ini mencerminkan kehidupan yang seimbang dan setara, adil dan tidak berat sebelah. Di dalam ungkapan adat dikatakan :
“Rumah Induk ada Anaknya
Anak di kanan anak di kiri
Anak dibuat sama setara
Sama bentuk dengan ukurnya
Sama jauh dengan dekatnya
Sama padan dengan takahnya
Tanda adil sama dijunjung
Tanda menimbang sama berat
Tanda mengukur sama panjang
Tanda menyukat sama penuh
Tanda berlaba sama mendapat
Tanda hilang sama merugi
Tanda berat sama dipikul
Tanda ringan sama dijinjing
Tanda ke laut sama berbasah
Tanda ke darat sama berkering
Tanda senasib sepenanggungan
Tanda seaib sama semalu”
Di dalam menentukan fungsi bangunan, maka Bangunan Induk tetap dijadikan teraju dan pucuk dari semua aktivitas dan makna di dalam kerajaan itu, Di dalam ungkapan adat dikatakan :
“Di dalam bangunan Induk
Terkandung tuah dengan marwah
Terkandung petuah dengan amanah
Terkandung janji dengan sumpah
Terkandung daulat dengan martabat
Terkandung makna dengan hakikat
Terkandung kasih dengan sayang
Terkandung beban berkepanjangan
Terkandung hutang tak berkesudahan
Hutang ke Allah hutang ke rakyat
Hutang tak dapat dibelah bagi
Hutang tak dapat diingkar-ingkari
Hutang amanah menebus sumpah”
Di dalam memfungsikan bangunan Sayap, ditetapkan, bahwa Sayap Kanan, yakni sebelah hulu dijadikan kantor Sultan, sesuai dengan ungkapan adat:
“Yang raja memegang hulu
Hulu bicara hulu rundingan
Hulu petuah hulu amanah
Hulu titah membawa berkah
Hulu nasehat membawa berkat”
“Di Sayap Kanan raja duduk
Mencari runding pada yang elok
Di sana yang kusut diselesaikan
Di sana yang keruh dijernihkan
Di sana yang bengkok diluruskan
Disana yang salah dibetulkan
Disana yang kesat diampelas
Disana yang berbongkol sama ditarah
Disana yang sumbang diperbaiki
Disana yang janggal dielokkan
Disana hukum ditegakkan”
Sedangkan bangunan Sayap sebelah kiri bangunan Induk, yakni yang sebelah hilir, dijadikan tempat menghadap rakyat kerajaan, sesuai dengan ungkapan adat:
“Yang rakyat memberi ingat
Memberi bakti serta pendapat
Memberi setia serta amanat
Supaya berjalan tak salah langkah
Supaya bercakap tak salah ucap
Supaya memerintah tak salah titah
Supaya berjalan tak salah pedoman
Supaya berlayar kearah yang benar
Disana tangan bebas melenggang
Disana kaki bebas melangkah
Disana lidah bebas bercakap
Disana janji sama diikat
Disana amanah dipegang erat”
Selain itu, simbol-simbol yang mengandung nilai-nilai luhur dan budaya tempatan tercermin pula dalam berbagai ornament dan sebagainya yang intinya mengacu kepada keutamaan raja dan raknyatnya yang hidup tersebati, menyatu bagaikan mata putih dengan mata hitam, sehingga rusak yang putih binasa yang hitam, dan rusak yang hitam binasa yang putih. Bersebatinya pemimpin dengan rakyatnya, serta mewujudkan kehidupan yang sejahtera lahiriah dan batiniah.
Pekanbaru, Juli 2006
Tenas Effendy
SEKILAS
PELALAWAN
I. Sejarah Kerajaan Pelalawan
Wilayah kerajaan pelalawan yang sekarang menjadi kabupaten pelalawan,berawal dari kerajaan pekantua yang didirikan oleh maharaja indera (sekitar tahun 1380 M). Beliau adalah bekas orang besar kerajaan temasik (singapura)setelah kerajaan temasik dikalahkan oleh majapahit dipenghujung abad XIV.Sedangkan raja Temasik terakhir yang bernama permaisura (prameswara )mengundurkan dirinya ketanah semenanjung,dan mendirikan kerajaan malaka.
Maharaja indera (1380-1420) membangun kerajaan Pekantua di Sungai Pekantua (anak sungai Kampar,sekarang termasuk desa Tolam,Kecamatan Pelalawan,kabupaten Pelalawan ) pada tempat bernama
“Pematang Tuo”dan kerajaan nya di namakan “Pekantua”.setelah maharaja Indera, kerajaan pekantua di pimpin oleh Maharaja Pura (91420-1445 M) dan Maharaja Jaya (1480-1505 M).
Kerajaan malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah PP(1459-1477 M) menyerang kerajaan Pekantua,dan kerajaan pekantua dapat di kalahkan.selanjutnya Sultan Mansyur Syah (1505-1511 M) sebagai raja pekantua. Pada upacara penabalan, di umumkan bahwa Kerajaan Pekantua berubah nama menjadi “ Kerajaan Pekantua Kampar “.
Setelah Munawar Syah Mangkat, di angkatlah Puteranya Raja Abdullah, Menjadi Raja Pekantua Kampar (1511-1515 M). Di malaka, Sultan Mansyur Mangkat, di gantikan oleh Sultan Mahmud Syah I. Pada masa inilah Kerajaan malaka diserang dan dikalahkan oleh Portugis ( 1511 M ). Sultan Mahmud Syah I mengundurkan dirinya sekitar tahun 1526 M sampai ke Pekantua Kampar.
Raja Abdullah ( 1511-1515 M ), yang turut membantu melawan Portugis akhirnya tertangkap dan di buang ke Gowa. Oleh karena itulah, Ketika Sultan Mahmud Syah I sampai di pekantua (1526 M ) langsung dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar (1526-1528 M ) dan ketika beliau mangkat diberi gelar “Marhum Kampar” yang makamnya terletak di Pekantua Kampar.
Sultan Mahmud Syah I mangkat digantikan oleh puteranya dari isterinya Tun Fatimah, yang bernama Raja
Ali, bergelar “Sultan Alauddin Riayat Syah II “. Tak lama kemudian, beliau meninggalkan Pekantua ke Tanah Semananjung mendirikan Negeri Kuala Johor, beliau dianggap pendiri Kerajaan Johor. Sebelum meninggalkan Pekantua, beliau menunjuk dan mengangkat Mangkubumi Pekantua (1530-1551 M ) yang bernama Tun Perkasa dengan Gelar “Raja muda Tun Perkasa “. Selanjutnya kerajaan Pekantua Kampar diperintah oleh Tun Hitam (1551-1575 M), lalu Tun Megat (1575-1590 M).
Ketika kerajaan Johor dipimpin oleh Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar), Tun Megat dikerajaan Pekantua Kampar untuk menjadi raja. Sultan Abdul Jalil Syah mengabulkan permintaan Tun Megat, lalu mengirimkan salah seorang keluarga dekatnya yang bernama Raja Abdurrahman untuk menjadi Raja Pekantua Kampar. Sekitar tahun 1590 M, Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar dengan gelar “Maharaja Dinda” (1590-1630 M). selanjutnya, beliau memindahkan pusat kerajaan Pekantua Kampar dari Pekantua (Pematang Tuo) ke Bandar Tolam (Sekarang menjadi Desa Tolam, kecamatan Pelalawan).
Ketika Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691 M) mangkat digantikan oleh Putranya Maharaja Muda Lela (1691-1720 M), yang kemudian digantikan oleh putranya Maharaja Dinda II (1720-1750 M). pada masa Maharaja Dinda II sekitar tahun 1725 M terjadi pemindahan pusat Kerajaan Pekantua Kampar ke Sungai Rasau, salah satu anak sungai Kampar, dan nama kerajaan “ Pekantua Kampar “ diganti menjadi kerajaan “PELALAWAN”. Didalam upacara itu, gelar beliua yang semula Maharaja Dinda II di sempurnakan menjadi Maharaja Dinda Perkasa atau disebut Maharaja Lela Dipati. Setelah beliau mangkat, digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Bungsu (1750-1775 M), yang berhasil membuat kerajaan Pelalawan semakin berkembang pesat karena membuat hubungan dagang dengan daerah sekitarnya.
Ramainya Perdagangan dikawasan ini antara lain disebabkan oleh terjadinya kemelut di Johor. Setelah Sultan Mahmud Syah II di Kerajaan Johor mangkat, arus perdagangan beralih je kawasan Pesisir Sumatera bagian timur. Sultan Mahmud Syah II mangkat di bunuh oleh Laksemana Megat Srirama yanh tidak berputera, maka penggantinya diangkat Bendahra Tun Habib menjadi Raja Johor yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Tak lama dating Raja Kecil yang menuntut Tahta Johor, karena beliau mengaku sebagai Putra Sultan Mahmud Syah II dengan istrinya yang bernama Encik Pong. Mengenai Raja Kecil ini terdapat berbagai versi, ada yang mengakuinya sebagai putra Sultan Mahmud Syah II dan ada yang menolaknya. Tetapi para pencatat sejarah dan silsilah di Kerajaan Siak dan Pelalawan tetap mengakuinya bahwa beliau adalah putra Sultan Mahmud Syah II.
Raja Kecil menduduki tahta Johor bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah. Tetapi kemudian terjadi pertikaian dengan iparnya, Raja Sulaiman, putra Sultan dan bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1722-1760 M). sedangkan Raja Kecil yang menduduki tahta Johor sebelumnya
(1717-1722 M) mengundurkan dirinya ke Siak, kemudian membuat Negeri di Buatan. Inilah awal berdirinya kerajaan Siak Sri Indrapura, Raja Kecil memerintah Siak tahun (17722-1746 M).
Kerajaan Pelalawan yang telah melepaskan diri dari ikatan Kerajaan Johor, diserang oleh Kerajaan Siak pada masa Sultan Syarif Ali (1784-1811 M). serangan yang dipimpin oleh Said Abdurrahman, adik Sultan Syarif Ali dapat menaklukkan kerajaan Pelalawan. Sultan Said Abdurrahman melakukan ikatan persaudaraan yang disebut “Begito” (pengakuan bersaudara dunia akhirat) dengan Maharaja Lela II, Raja Pelalawan pada saat itu.
Said Abdurrahman kemudian dinobatkan menjadi Raja Pelalawan dengan gelar Sultan Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822 M). sejak itu kerajaan Pelalawan diperintah oleh raja-raja keturunan Said Abdurrahman, saudar dari Syarif Ali Sultan Siak, sampai kepada Raja Pelalawan terakhir.
Syarif Abdurrahman (1798-1822 M)
Syarif Hasyim (1822-1828 M)
Syarif Ismail (1828-1844 M)
Syarif Ismail (1844-1866 M)
Syarif Ja’afar (1866-1872 M)
Syarif Abubakar (1872-1886 M)
Tengku Sontol Said Ali (1886-1892 M)
Syarif Hasyim II (1892-1930 M)
Tengku Said Osman (Pemangku Sultan) (1930-1941 M)
Syarif Harun (1941-1946 M)
Pada saat kemerdekaan Republik Indonesia, Tengku Said Harun bersama orang besar Kerajaan Pelalawan menyampaikan pernyataan Taat Setia dan Bersatu dalam Negara Republik Indonesia yaitu pada tanggal 20 Oktober 1945. setelah mangkat, atas jasa-jasanya Beliau diberi gelar “Marhum Setia Negara”.
II. Pelalawan Sebagai Kabupaten
Kabupaten Pelalawan merupakan salah satu kabupaten yang dimekarkan (sebelumnya merupakan bagian dari kabupaten Kampar) di wilayah Propinsi Riau. Kabupaten Pelalawan dimekarkan pada tanggal 12 Oktober 1999 yang disahkan melalui Undang-undang No. 53 tahun1999. ibukota Kabupaten Pelalawan adalah Pangkalan Kerinci yang terletak di bagian timur Riau Daratan dengan luas 12.490,42km2 dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
- Sebelah Timur berbatas dengan Kabupaten Karimun, Prop. Kepri dan Selat Malaka
- Sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Siak dan Kabupaten Bengkalis
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Indragiri Hilir
Untuk mencapai kota Pangkalan Kerincidapat ditempuh melalui beberapa pintu masuk :
a. Darat : - Melalui Kota Pekanbaru dengan melewati jalan raya Lintas Timur.
-Melalui Kota Jambi/Rengat (Kabupaten Inhu) dengan melewati jalan Raya Lintas Timur
b. Laut/Sungai : - Melalui Penyalai di Kuala Kampar
- Melalui Tolam, di Kecamatan Pelalawan
- Melalui Teratak Buluh di Kabupaten Kampar
c. Udara : - Melalui Bandar Udara Sultan Syarief Haroen di Komplek PT. RAPP (Riau Pulp and Paper)
Kabupaten Pelalawan telah berkembang menjadi 12 Kecamatan terdiri dari 4 Kecamatan Definitif dan 8 Kecamatan Pembantu, diantaranya :
Kecamatan Definitif :
1. Kec. Langgam Luas, 916,61 km2
2. Kec. Bunut Luas, 1.339,96 km2
3. Kec. Pangkalan Kuras Luas, 2.158,68 km2
4. Kec. Kuala Kampar Luas, 4.656,34 km2
Kecamatan Pembantu :
1. Kec. Pangkalan Kerinci Luas, 616,40 km2
2. Kec. Ukui Luas, 407,73 km2
3. Kec. Pelalawan Luas, 930,63 km2
4. Kec. Pangkalan Lengsung Luas, 472,73 km2
5. Kec. Kerumutan Luas, 773,86 km2
6. Kec. Teluk Meranti Luas, 217,49km2
7. Kec. Bandar Petalangan Luas, 365,26km2
8. Kec. Bandang sekijang Luas, 98,90 km2
Posisi yang srategis di jalur Lintas timur Sumatera serta berbatasan dengan Propinsi Kepulauan Riau dan Negara Tetangga merupakan keunggulan bagi Kabupaten Pelalawan untuk mengembangkan pembangunan di segala sector, dalam mengejar ketinggalan yang selama ini menyelimutinya.
Aktivitas pemanfaatan kekayaan dan keragaman hasil hutan juga terlihat dengan berdirinya pabrik kertas terbesar di Asia Tenggara oleh PT Riau Pulp and paper (anak perushaan Asia pacific resaurces International Holding Limeted) di pangkalan kerinci. Adanya pabrik ini mampu menghasilkan partisipasi terbesar dalam produk Regional Bruto di Kabupaten Pelalawan.
Penduduk asli Kabupaten Pelalawan terdiri dari orang Melayu yang terbagi dalam dua wilayah adat, Yaitu masyarakat Melayu pesisir dan Melayu Petalangan.
Kabupaten ini dialiri sungai Kampar dengan anak sungainya sehingga memberi karakteristik tersendiri terhadap kehidupan penduduknya, dimana sebagian pendudukasli banyak bergantung kepada kekayaan alam dan keragaman sumber daya perairan serta kekayaan dan keragaman hasil hutan. (pelalawankab.go.id)
Istana Sayap
Istana
Sayap merupakan sebutan bagi Istana Kesultanan Pelalawan, Istana ini awalnya
dibangun oleh Sultan ke-7 Pelalawan Baru yang bernama Tengkoe Besaar Sontol
Said Ali (1886 – 1892 M). namun beliau wafat disaat bangunan Istana belum
selesai. Selanjutnya pembangunan Istana ini diselesaikan oleh penerusnya
Tengkoe Besaar Syarif Hasyim II (1892 – 1930 M).
Istana
ini sebelumnya dinamakan “ISTANA UJUNG PANTAI”. Namun ketika Sultan Syarif
Hasyim II melanjutkan pembangunan istana, ia membangun dua sayap disamping
kanan dan kiri istana, yang dijadikan Balai. Maka istana inipun dinamakan
“ISTANA SAYAP”. Bangunan di sebelah kanan istana (sebelah hulu) disebut “Balai
Sayap Hulu” yang berfungsi menjadi kantor Sultan”, dan bangunan di sebelah kiri
Istana (sebelah hilir) dinamanakan “Balai Hilir” yang berfungsi sebagai “Balai
Penghadapan” bagi seluruh rakyat Pelalawan.
Banyak sekali
filosofi yang terkandung pada bangunan Istana ini, namun sangat disayangkan
bangunan Istana bersejarah ini sudah tidak dapat dilihat lagi, yang terisa saat
ini hanyalah bangunan Istana Kanan atau Istana Sayap Kanan. karena dua bangunan
yang merupakan Istana Tengah dan Istana Kiri sudah habis terbakar pada 19
Februari 2012.
Mesjid Hibbah
Masjid
Hibbah Pelalawan dibangun tahun 1936, semasa pemerintahan Regent Tengkoe
Pangeran Said Osman (1930 – 1941). Lokasi Masjid di tetapkan di pinggir sungai
'Naga Belingkar', mengingat tempat tersebut tak jauh dari bangunan Istana
Pelalawan dan Rumah kediaman Sultan. Lokasi masjid ini berada di tengah-tengah
dan mudah ditempuh dari segala pemukiman, baik dengan berjalan kaki maupun
dengan menggunakan perahu.
Kata “
Hibbah “ untuk nama masjid tersebut diambil dari makna ‘pemberian (sumbangan).
Karena Mesjid ini dibangun dari keikhlasan masyarakat pelalawan waktu itu yang
bergotong royong tanpa terkecuali tua dan muda, laki-laki dan perempuan, dan
pekerjaan tersebut dilaksanakan siang malam tanpa paksaan. Bahkan pada kegiatan
tersebut Sultan dan para pembesar kerajaanpun ikut bekerja bersama rakyatnya.
Sebahagian
besar bahan bangunannya terbuat dari ‘teras laut’, kayu pilihan yang
sengaja dipesan, sebagian lagi diramu oleh pemuda-pemuda di kawasan hutan.
Sedangkan semen untuk tiang, kaca pintu, atap dan timah campuran bahan qubahnya
merupakan sumbangan Sultan.
Masjid
Hibbah bagaikan mahkota yang amat terpelihara, bahkan menurut penduduk setempat
bangunan ini berharga melebihi bangunan Istana Sayap. Karena Mesjid tersebut
merupakan wujud dari persaudaraan yang pernah mereka bangun dengan susah payah
secara bersama-sama.
Meriam Perang
Tidak
jauh dari Istana Sayap, tepatnya di bagian hulu dapat dijumpai tempat dimana
sebagian Meriam Peninggalan Kerajaan Pelalawan diletakkan. Sebagian meriam
berwarna kuning dan sebagian lagi berwarna hitam, dahulunya meriam ini
merupakan fasilitas pertahanan utama yang digunakan Kerajaan Pelalawan saat
berperang melawan musuh.
Komplek Pemakaman Raja
Komplek
pemakaman ini terdiri dari tiga bagian, yang masing-masing terpisah beberapa
puluh meter dan memiliki bangunan pelindung sendiri-sendiri. Yakni makam Raja,
makam Dekat dan makam Jauh.
Pemakaman
utama disebut makam raja, terletak sekitar 50 meter dari Istana Sayap, tepatnya
dibelakang Mesjid yang bernama Mesjid Hibbah. di sini bersemayan 3 (tiga) Raja
Pelalawan diantaranya Sultan Syarif Hasyim (1894—1930), Regent Tengkoe Pangeran
Said Osman (1931—1940), dan Sultan Syarif Haroen (1940—1946).
Selain
Komplek pemakaman Raja, terdapat lagi dua pemakaman Raja yang bernama makam
Jauh dan makam Dekat. Makam jauh dan makam dekat berisi Raja-raja para, para
alim ulama, pembesar kerajaan, orang-orang yang berjasa serta kalangan keluarga
dekat Kerajaan.
Peninggalan sejarah lainnya
Masih
banyak lagi peninggalan-peninggalan sejarah Kerajaan Pelalawan yang berada di
Komplek Kerajaan di desa Pelalawan, diantaranya seperti bangunan Pesenggerahan
Panglima Kudin, Rumah kediaman Sultan Syarif Haroen (1940-1946), Rumah kediaman
Regent Tengkoe Pangeran Said Osman (1931-1940), benda-benda kecil seperti
stempel kerajaan, baju kebesaran Raja, tempat tidur Raja, alat tenun Tuan
Putri, alat musik Istana, keris, tombak, perhiasan-perhiasan, gong, piring, dan
benda-benda pusaka lainnya.
SEJARAH KABUPATEN PELALAWAN
Nama Kabupaten Pelalawan berawal dari nama sebuah kerajaan
Pelalawan yang pusat kerajaannya berada di pinggir sungai Kampar. Kerajaan ini
berdiri tahun 1726, dan mulai terkenal pada masa pemerintahan Sultan Syed
Abdurrahman Fachrudin (1811-1822). Raja terakhir kerajaan Pelalawan adalah
Tengku Besar Kerajaan Pelalawan yang memerintah pada tahun 1940 -1945.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang pembentukan 8 (delapan) Kabupaten/Kota di Propinsi Riau yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri tanggal 12 Oktober 1999 di Jakarta dan Operasional Pemerintah Daerah tanggal 5 Desember 1999, salah satu di antaranya adalah Kabupaten Pelalawan. Kabupaten ini memiliki luas 13.256,70 Km² dan pada awal terbentuknya terdiri atas 4 kecamatan, yaitu kecamatan : Langgam, Pangkalan Kuras, Bunut, dan Kuala Kampar. Dalam perkembangannya, Kabupaten Pelalawan secara administratif terdiri atas 12 wilayah kecamatan, yang meliputi 93 pemerintahan Desa dan 12 pemerintahan Kelurahan.
35 desa berada di pinggiran sungai, 8 desa berbatasan dengan laut, 50 desa berada di kawasan perkebunan, PIR Trans dan pedalaman, 12 desa terdapat di kawasan kota sedang dan kecil. Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) yang pertama di Kabupaten Pelalawan pada bulan Februari 2008 menetapkan pasangan H.T Azmun Jaafar dan Drs H Rustam Efendi sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Pelalawan periode tahun 2008-2011.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang pembentukan 8 (delapan) Kabupaten/Kota di Propinsi Riau yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri tanggal 12 Oktober 1999 di Jakarta dan Operasional Pemerintah Daerah tanggal 5 Desember 1999, salah satu di antaranya adalah Kabupaten Pelalawan. Kabupaten ini memiliki luas 13.256,70 Km² dan pada awal terbentuknya terdiri atas 4 kecamatan, yaitu kecamatan : Langgam, Pangkalan Kuras, Bunut, dan Kuala Kampar. Dalam perkembangannya, Kabupaten Pelalawan secara administratif terdiri atas 12 wilayah kecamatan, yang meliputi 93 pemerintahan Desa dan 12 pemerintahan Kelurahan.
35 desa berada di pinggiran sungai, 8 desa berbatasan dengan laut, 50 desa berada di kawasan perkebunan, PIR Trans dan pedalaman, 12 desa terdapat di kawasan kota sedang dan kecil. Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) yang pertama di Kabupaten Pelalawan pada bulan Februari 2008 menetapkan pasangan H.T Azmun Jaafar dan Drs H Rustam Efendi sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Pelalawan periode tahun 2008-2011.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar