Selasa, 22 September 2015

Kerajaan Riau - Lingga dan Sekilas Tentang Raja Parameswara




Sultan Mahmud Syah di Istana Lingga
Pada Zaman dahulu asal usul sebuah kerajaan Melayu di Lingga yang berpusat di Kota Daik sebagai Negara Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga. Sultan Mahmud Syah II (1685 – 1699) adalah Sultan Johor-Riau-Lingga-Pahang atau kemaharajaan melayu yang ke-10. Ia adalah keturunan sultan-sultan Malaka, sultan ini tidak mempunyai keturunan, untuk penggantinya dicarilah dari keturunan Datuk Bendahara Paduka Raja Tun Abdul Jalil yang diberi gelar Sultan Mahmud Syah III. Pada masa ini sultan Mahmud Syah III masih sangat muda jadi yang menjalankan pemerintahan ialah yang dipertuan muda Daeng Kamboja yang dipertuan Muda III, jadi ialah yang paling berkuasa di kemaharajaan di Melayu Lingga.


Yang menjadi Datok Bendahara pada saat itu adalah Tun Hasan, semasa ini pula hubungan pemerintahan dengan Belanda masih  lancar. Sedangkan di Riau berdatangan pedagang-pedagang dari  India. Sedangkan pedagang cina pada saat itu masih menetap di Kepulauan Nusantara dan pada saaat ini juga yang mendampingi yang dipertuan muda melaksanakan tugasnya untuk diwilayah Riau Engku Kelana Raja Haji.



Setelah yang dipertuan muda III Daeng Kamboja wafat tahun 1777 yang menggantikannya adalah Yang Dipertuan Muda IV Raja Haji. Raja Haji ini memerintah dari tahun  1777 – 1784. Sewaktu berada di bawah pemerintahannya  pecah perang antara kemaharajaan melayu dengan kompeni Belanda di Melaka.  Setelah Raja Haji wafat lahirlah sebuah perjanjian antara kemaharajaan  melayu dengan pihak kompeni Belanda. Perjanjian ini dikenal TRACTAAT AL TOOSE DURENDE GETROO WE VRIENDE  BOND GENO OT SCHAP yang ditandatangani tanggal 10 Nopember 1784.

Setelah di tinggalkan Raja Haji yang menjadi Di Pertuan Muda Riau, berikutnya adalah Raja Ali (Anak dari Daeng Kamboja). Masa jabatan dari tahun 1785-1806 ia sebagai yang dipertuan muda ke-V   ia lebih banyak berada di luar wilayah kerajaan sebab kekuasaan pada saat itu lebih banyak berada di Belanda. Lama kelamaan ia mengadakan perlawanan dan akhirnya sejak tahun 1785 menetaplah ia di Suka Dana (Kalimantan). Tahun ini juga kompeni Belanda mengangkat Recident Belanda pertama di Tanjungpinang dengan nama DAVID RUNDE pada tanggal 17 Juni 1785.

Pada tahun 1787 Sultan Mahmud Syah III memindahkan pusat kerajaannya ke Daik Lingga, ini diakibtakan  adanya tekanan dari Kompeni Belanda. Walaupun pusat kerajaan berada di Pulau Lingga, wilayah masih meliputi Johor-Pahang dimana daerah tersebut Sultan masih diwakili oleh Datuk Temenggung  untuk bagian Johor dan Singapura sedangkan Datuk Bendahara untuk daerah Pahang. Untuk tahun 1795 terjadi perkembangan politik baru di negeri Belanda, dimana kompeni Belanda harus menyerahkan beberapa daerah yang didudukinya ke Inggris.  Masa ini disebut juga sebagai masa INTEREGNUM Inggris di Riau.

Tahun 1802 yang dipertuan muda V berada dipengungsian kembali di Lingga pada masa intregnum Inggris ini berlangsung Raja Ali wafat 1795-1816 di pulau Bayan. Tahun 1806 diangkat pula Raja Jakfar menjabat kedudukan sebagai yang dipertuan Muda Riau pada tahun 1806-1813. Raja Jakfar membuat tempat pemerintahannya di kota Rentang di Pulau Penyengat. Pada tahun 1811 Sultan Mahmud III memerintahkan anaknya Tengku Husein (Tengku Long pergi ke Pahang dan menikah disana dengan puteri Tun Khoris atau adik bendahara yang bernama Tun Ali.  Semasa Tun Husin (Tengku long ) berada dipahang ayahandanya Sultan Mahmut Syah wafat di Daik Lingga tanggal 12 Januari 1812.

Setelah Sultan Mahmut syah III meninggal dicarilah calon pengantinya.  Akhirnya yang dilantik sebagai sultan pengganti yaitu Tengku Abdul Rahman yang disetujui oleh pembesar kerajaan dan dari pihak Belanda. Ini dikuatkan oleh peraturan kerajaan Lingga Riau yang berbunyi Sultan baru harus dilantik sebelum jenazah Sultan yang wafat di kebumikan.

Setelah Tengku Abdul Rahman dilantik tahun 1812 Sultan Abdul Rahman Syah menetap di Lingga. Mulailah Lingga masa itu bertambah ramai karena telah ada tambang timah disingkep. Sedangkan Raja Ja’far menetap di Penyengat ia telah menempatkan orang-orang kepercayaannya di Daik Lingga untuk mendampingi Sultan yaitu Engku Syaid Muhammad Zain Al Qudsi. Suliwatang Ibrahim, sahbandar Muhammad Encik Abdul Manan dan bagian pertahanan dan keamanan adalah Encik Kalok. Tengku Husin tinggal di Lingga, beliau menetap di penyengat.

Pada tangal 19 Agustus 1818 Wiliam Farquhan Residen Inggris dari Malaka datang ke Daik untuk bertemu dengan Sultan Abdul Rahman Muazam Syah dan memberitahukan bahwa wilayah kerajaan Lingga Riau mungkin akan diambil Belanda. Sultan Abdul Rahman Muazam Syah menjawab berita yang disampaikan Fanquhan itu, bahwa beliau tidak mempunyai wewenang untuk mengurus urusan kerajaan, hanya ia menganjurkan Fanquhan dapat menghubungi Raja Ja’far.

Sultan Mahmud Riayat Syah III pada zaman beliau memegang tampuk pemerintahan, beliau membangun istana Robat/istana kota baru dan beliau juga membangun penjara/Gail. Sedangkan Almarhum Raja Muhammad Yusuf sangat alim beliau ini adalah penganut Nak Sabandiah. Beliau adalah yang dipertuan muda ke X yang dilantik tahun 1859 oleh Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah III. Pada zaman ini di Daik sangat berkembang dibidang agama maupun bidang ekonomi, sehingga Daik Lingga pada waktu itu menjadi pusat perdagangan dan pengetahuan. Banyak pedagang yang datang seperti cina, bugis, keling, siak, Pahang dll. Belanda sudah semakin khawatir kalau Lingga menyusun kekuatan untuk menentangnya, oleh karena itu, Belanda menempatkan asisten Residen di Tajung Buton Daik. Pada tanggal 17 September 1833 beliau mangkat dan dimakamkan di bukit Cengkeh. Sedangkan yang dipertuan muda Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi beristrikan Tengku Embung Fatimah Binti Sultan Mahmud Muzafarsyah yang merupakan Sultanah di Lingga. Beliau menggalakan kerajinan rakyat Lingga untuk dipasarkan keluar kerajaan Lingga. Pada zaman mereka membuka jalan Jagoh ke Dabo membuat kapal-kapal, diantara nama kapal-kapal tersebut Kapal Sri Lanjut, Gempita, Betara Bayu, Lelarum dan Sri Daik, guna untuk memperlancar perekonomian rakyat serta pada zaman beliau juga istana Damnah di bangun. Sekolah sd 001 Lingga tahun 1875 dengan guru pertama kami Sulaiman tamatan sekolah Raja di Padang. Guru ini tidak mau bekerja sama dengan Belanda, walaupun beliau diangkat oleh Belanda.

Pada zaman ini Lingga mencapai zaman keemasan, sedangkan Almarhum Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II adalah anak dari Sultan Abdul Rahman Syah. Beliau diangkat menjadi Sultan tidak disetujui oleh Indra Giri Reteh selama 25 hari dan terkenalah dengan nama pemberontakan Mauhasan. Namun Reteh tunduk kembali dengan Lingga. Sultan ini sangat memperhatikan kehidupan rakyatnya antara lain :
-       Mengajukan dan menukarkan sawah padi dengan sagu (Rumbia) yang di datangkan dari Borneo Serawak dan membuka industri sagu tahun 1890.
-       Membuka penambangan timah di Singkep dan Kolong-kolong Sultan dengan Mandor yang terkenal npada zaman itu La Abok dan kulinya orang-orang Cina Kek yang menurut ceritanya nama inilah nama Dabo Singkep.

Baginda mangkat pada tanggal 28 Fenruari 1814 dan dimakamkan di Bukit Cengkeh dengan gelar Marhum Keraton yang didalam kubah. Setelah itu Sultan Muhammad Muazam Syah (1832-1841) Sultan ini sangat gemar dengan seni ukir/Arsitektur, beliau mengambil tukang dari Semarang untuk membangun istana yang disebut Keraton atau Kedaton.

Pada zaman ini seni ukir, tenun, kerajinan, Mas dan perak sudah ada. Pusat kerajinan tenun di Kampung Mentuk, kerajinan Tembaga di kampong Tembaga. Pada zaman beliau juga Bilik 44 dibangun, namun belum sempat di bangun, namun belum sempat siap bertepatan beliau mankat dan pengantinya tidak melanjutkan pembangunan gedung tersebut.

Sultan Abdul Rahman Syah 1812-1832 adalah putra Sultan Mahmud Riayat Syah III beliau terkenal sangat alim dan giat menyebarkan agama islam serta mengemari pakaian Arab. Pada masa pemerintahan beliau, saudaranya Tengku Husin dengan bantuan Inggris dilantik menjadi raja dengan gelar Sultan Husin Syah. Maka pecahlah kerajaan besar Melayu atau emporium Melayu Johor-Riau-Lingga menjadi 2 bagian. Istana Sultan Abdul Rahman Syah terletak di Kampung Pangkalan Kenanga sebelah kanan  mudik sungai Daik.

Beliau mangkat malam senin 12 Rabiul awal 1243 Hijriahn (19 Agustus 1832) di Daik, dimakamkan di Bukit Cengkeh bergelar Marhum Bukit Cengkeh. Pada zaman beliau, Mesjid Jamik didirikan atau Mesjid Sultan Lingga, benteng-benteng pertahanan di Mepar, Bukit Cening, Kota Parit (Dibelakang Kantor Bupati Lama) serta Benteng Kuala Daik, Meriam pecah Piring dan Padam Pelita terdapat di mes Pemkab Lingga. Pada zaman beliau memerintah, beliau sering berperang melawan penjajahan Belanda bersama dengan Yang Dipertuan Muda Riau diantarnya Raja Haji Fisabilillah atau bergelar Marhum Ketapang. Beliau mangkat 18 Zulhijah 1226 Hijriah (12 Januari 1912) di Daik di belakang Mesjid dengan Bergelar Marhum Masjid.

Sultan Mahmud Riayat Syah adalah Sultan yang pertama kali di Daik Lingga. Beliau adalah Sultan Johor-Pahang-Riau-Lingga XVI yang memindahkan pusat kerajaan Melayu ke Bintan Hulu Riau ke Daik tahun 1787, dengan istrinya Raja Hamidah (Engku Putri) yang merupakan pemegang Regelia kerajaan Melayu-Riau-Lingga. Pulau penyengat Indra Sakti adalah mas kawinnya dan pulau penyegat tersebut menjadi tempat kedudukan Raja Muda bergelar Yang Dipertuan Muda Lingga yaitu dari darah keturunan Raja Melayu dan Bugis. Pada hari senin pukul 07.20 Wib tahun 1899 beliau mangkat dan dimakamkan di Makam Merah dengan Bergelar Marhum Damnah.




Imperium Melayu Riau adalah penyambung warisan Sriwijaya. Kedatangan Sriwijaya yang mula-mula sejak tahun 517 s/d 683 dibawah kekuasaan Melayu, dengan meliputi daerah Sumatera tengah dan selatan. Sriwijaya-Sailendra bermula dari penghabisan abad ke 7 dan berakhir pada penghujung abad ke 12. Kemaharajaan Melayu yang dimulai dari - Kerajaan Bintan-Tumasik abad 12-13 M dan kemudian memasuki periode Melayu Riau yaitu - zaman Melaka abad 14-15 m, - zaman Johor-Kampar abad 16-17 m, - zaman Riau-Lingga abad 18-19M

Paramesywara atau Iskandar Syah dikenal dengan gelar Sri Tri Buana, Maharaja Tiga Dunia (Bhuwana, Kw, Skt berarti dunia), seorang pangeran, keturunan raja besar. Ia sangat berpandangan luas, cerdik cendikia, mempunyai gagasan untuk menyatukan nusantara dan akhirnya beliaulah pula yang membukakan jalan bagi perkembangan islam di seluruh nusantara. 

Paramesywara adalah keturunan
raja-raja Sriwijaya-Saildendra. Menurut M.Said (dalam bukunya Zelfbestuur Landchappen) Raja Suran adalah keturunan Raja Sultan Iskandar Zulkarnain di Hindustan yang melawat ke Melaka, beranak tiga orang laki-laki. Diantara putranya adalah Sang Si Purba, kawin dengan Ratu Riau. Dari puteranya menjadi turunan Raja Riau. Sang Si Purba sendiri pergi ke Bukit Siguntang Mahameru (Palembang) menjadi Raja dan kawin disana. Ia melawat ke Minangkabau dan menjadi Raja Pagarruyung. Memencar keturunannya menjadi Raja-Raja Aceh dan Siak Sri Indrapura.

Menurut Sejarah Melayu tiga bersaudara dari Bukit Siguntang menjadi raja di Minangkabau, Tanjung Pura (Kalimantan Barat) dan yang ketiga memerintah di Palembang..Yang menjadi Raja di Palembang adalah Sang Nila Utama. Sang Nila Utama inilah yang menjadi Raja di Bintan dan Kemudian Singapura.

Dalam hikayat Hang Tuah yang terkenal, ada disebutkan, raja di “Keindraan” bernama Sang Pertala Dewa. Adapula tersebut seorang raja. Istri baginda hamil dan beranak seorang perempuan yang diberi nama Puteri Kemala Ratna Pelinggam. Setelah dewasa diasingkan ke sebuah pulau bernama : Biram Dewa.. Sang Pertala Dewa berburu di pulau Biram Dewa tersebut. Akhirnya kawin dengan Putri Kemala Ratna PeLinggam. Lalu lahir anaknya yang dinamai Sang Purba. Setelah itu mereka naik “keindraan”. Kemudian turun ke Bukit Siguntang Mahameru. Sang purba dirajakan di bukit siguntang. Sang Purba kawin dengan puteri yang berasal dari muntah seekor lembu yang berdiri ditepi kolam dimana sang puteri sedang mandi. Lahir seorang putra dinamai Sang Maniaka dan kemudian lahir pula putera yang kedua Sang Jaya Mantaka, yang ketiga Sang Saniaka dan yang keempat Sang Satiaka. Sang Maniaka dirajakan di Bintan dan singapura.

A. Zaman Bintan – Temasek Dalam catatan sejarah, Kerajaan Riau-Bintan dimulai dari Raja Asyar-Aya (1100-1150M ) Dan Ratu Wan Sri Beni (1150-1158M). Ratu kemudian digantikan oleh menantunya Sang Nila Utama, yang mendirikan Kerajaan Singapura dan memindahkan Kerajaan dari Bintan ke Singapura. Menurut para ahli sejarah, Sang Nila Utama dari Bintan menemukan Singapura pada tahun 1294 M. kemudian diberi gelar Tri Buana dan mengubah nama Temasek menjadi Singapura.

B. Zaman Melaka Raja-raja Melayu di Melaka berasal dari singapura (temasek) menurut sejarah Melayu karangan Tun Seri Lanang (1612 M), raja Melayu yang terakhir disingapura (Tumasik) adalah Raja Iskandar Syah yang membuka negeri Melaka

Dalam buku-buku sejarah karangan pelawat-pelawat cina nama raja Melayu Melaka yang pertama itu ialah Pa-Li-Su-La dan Pai-li-mi-sul-la, dari sumber Portugis yang menyebutkan Paramesywara dengan sebutan Paramicura dan Permicuri. Ahli sejarah mengambil kesimpulan bahwa raja Melayu Melaka (Raja Singapura yang terakhir) adalah Permaisura (sebelum memeluk agama islam) kemudian raja itu menjadi Raja Melaka dengan memakai gelar Permaisuri Iskandar Syah (1394-1414 M). 
Keturunan raja ini yang memerintah di Melaka ialah : - Megat iskandar syah (1414-1424 M) - Sultan Muhammad Syah (1424-1444 M) - Sultan Abu Syahid (1445-1446 M) - Sultan Muazaffar Syah (1446-1456 M) - Sultan Mansyur Syah (1456-1477 M) - Sultan Alauddin Riayat Syah (1477-1488 M) - Sultan Mahmud Syah I (1488-1511 M)

Selama abad 15 sampai permulaan abad ke 16 di antara Kerajaan-Kerajaan Melayu yang ada, hanya Kerajaan Melaka yang mencapai puncak kejayaan. Sebuah laporan portugis pada permulaan abad ke 16 telah menggambarkan Kerajaan Melaka. Pada masa itu dinyatakan bahwa kota Melaka adalah Bandar perdagangan yang terkaya dan mempunyai bahan-bahan perdagangan yang termahal, armada yang terbesar dan lalu lintas yang teramai di dunia. Melaka menjadi kota perdagangan yang terbesar didatangi pedagang-pedagang dari pulau-pulau nusantara dan dari benua asia lainyya seperti dari India, Arab, Parsi, Cina, Burma (Pegucampa, Kamboja dan lain-lain). Dalam tahun 1509 mulai pula berdatangan pedagang-pedagang dari eropa Melaka sebagai pusat imperium Melayu dan menjadi Bandar perdagangan yang ramai juga merupakan pusat penyebaran agama islam ke seluruh nusantara dan Asia Tenggara. 

Sultan Melaka Sultan Mansyur Syah Akbar yang memerintah pada tahun 1456-1477 M) telah berhasil mengantarkan Melaka ke puncak kebesaran sejarah Melayu dan beliau dapat mempersatukan Kerajaan-Kerajaan Melayu dalam imperium Melayu. 

Pada masa Sultan Mansyur inilah terkenalnya sembilan pemuda yang gagah berani sebagai hulubalang Kerajaan seperti : Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekiu, Hang Lekir, Hang ali, Hang Iskandar, Hang Hasan, dan Hang Hussin. Diantara kesembilannya Hang Tuahlah yang paling berani dan bijaksana sehingga Sultan mengangkatnya menjadi Laksmana. Pengganti Sultan Mansyur Syah ialah putranya Sultan Alauddin Riayat Syah (1477-1588 H). Raja ini diracuni oleh Raja Kampar dan Raja Indragiri yang ditawan di Melaka. Sewaktu beliau hendak berangkat ke Melaka. 

Sultan Alauddin berputrakan Raja Munawar Syah, Raja Kampar dan Raja Muhammad yang kemudian bergelar Sultan Mahmud Syah Raja Melaka. Sultan mahmud beristrikan putri sultan raja pahang. Yang menurunkan tiga orang anak. Yang tertua adalah laki-laki diberi nama Raja Ahmad, yang kedua dan ketiga adalah perempuan. Sultan mahmud berguru pada Maulana Yusuf, sultan munawar syah raja Kampar wafat digantikan oleh anaknya yang bernama Raja Abdullah yang di nobatkan oleh Sultan Mahmud di Melaka dan diambil menjadi menantunya. Setelah dinobatkan di Melaka beliau kembali ke Kampar.

Sebelum pusat Kerajaan imperium Melayu di pindahkan ke Johor, Sultan Mahmud Syah I telah mendirikan pusat pemerintahan di Kampar terletak ditepi Sungai Kampar. Tempat ini dijadikan sebagai pusat imperium Melayu dan basis perjuangan terakhir untuk melawan portugis.

Sultan Mahmud Syah I ini sangat pemberani dalam menghadapi Portugis. Tapi sayang Melaka tetap berhasil di rebut Portugis. Pada tanggal 15 Agustus 1511 terjadilah peperangan yang hebat di antara pejuang Melaka dengan angkatan portugis yang di pimpin oleh Affonso d’albuquerqe.Melaka berhasil dikalahkan.

Sultan dan pengikut-pengikutnya akhirnya melarikan diri ke hulu sungai Muar, dan membuat Kerajaan Pagoh. Dalam bulan oktober 1511, Raja Abdullah (Sultan Kampar) mengadakan hubungan dengan affonso d’ Albuquerque dan pergi ke Melaka. Kemudian kembali lagi ke Kampar.

affonso d’ Albuquerque merasa kalau Pagoh dan Bentayan (Kuala Muar) akan menjadi ancaman bagi mereka. Takut akan hal ini, affonso langsung mengerahkan pasukannya yang terdiri dari 400 orang lascar portugis, 600 orang jawa, dan 300 orang pegu (Burma) untuk menyerang Bentayan dan Pagoh.

Akhirnya Sultan Mahmud Syah I dan pengikutnya meninggalkan Pagoh dan berpindah ke Pahang melalui Lubuk Batu dan Panarikan. Bulan Juli 1512 angkatan perang Sultan Mahmud Syah I di bawah pimpinan Laksmana Hang Nadim menyerang orang-orang Portugis di Melaka.

Januari 1513 Sultan Mahmud Syah I dan para pengikutnya pindah ke Bintan, tepatnya di Kopak. Beliau menetap disini sampai tahun 1519. dari basis ini Sultan Mahmud beberapa kali menyerang Melaka dan mengadakan blockade di Kuala Muar sehingga Melaka kekuarangan makanan.

Tahun 1521 Joerge d’ Albuquerque, panglima perang Portugis di Melaka menyerang bintan dengan membawa 18 buah kapal dan 600 orang prajurit.
Tahun 1523 dibawah pimpinan Don Sancho Enriquez, portugis kembali menyerang Bintan. Namun dibawah komando Hang Nadim, Laskar Kerajaan Bintan mampu memberikan perlawanan yang sengit kepada Portugis. Tidak sedikit tentara Portugis yang mati dalam pertempuran ini dan juga kerugian materi yang tidak sedikit.

Tahun 1526 portugis menghancurkan bandara Bengkalis, yang kemudian portugis kembali mengadakan penyerangan kepada Bintan dibawah pimpinan Pedro Maskarenhaas. Kali ini Portugis mendatangkan angkatan perang dari Goa (India) yang terdiri dari 25 buah kapal-kapal besar, 550 orang prajurit portugis dan 600 orang prajurit Melayu yang telah berhasil mereka bujuk untuk ikut dalam barisan mereka. Disaat itu pula Sultan Mahmud sudah bisa membaca keadaan bahwa Portugis akan kembali menyerang mereka. Dengan segera Sultan Mahmud langsung mengatur pertahanan yang kokoh di Kota Kara dan Kopak. Pertempuran hebat pun terjadi di Kota Kara, Laskar-laskar Melayu banyak yang berguguran, sedangkan Hang Nadim terluka, keadaan pun semakin tidak seimbang, akhirnya Bintan pun berhasil ditakhlukkan Portugis.

Dalam catatan Sejarah Melayu, Sultan Mahmud Syah I adalah yang kedelapan dan juga merupakan Raja yang terakhir dari Kerajaan Melaka (1488-1511). Dan juga beliau merupakan Raja Pertama Kerajaan Johor yang memerintah Johor dari tahun 1511 sampai dengan tahun 1528. Beliau adalah putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah dengan Istrinya Saudara Bendahara Pemuka Raja Tun Perak yang bernama Raja Mahmud. Pada masa Sultan Mahmud Syah I ini, Sultan Munawar, saudara seayahnya yang menjadi Raja di Kampar telah mangkat. Yang digantikan oleh putra Sultan Munawar bernama Raja Abdullah. Setelah Raja Abdullah di nobatkan menjadi Raja Kampar, Sultan Mahmud Syah I langsung mengangkatnya menjadi menantu yang dikawinkan dengan putrinya Putri Mah. Laksemana Hang Tuah juga meninggal pada masa Sultan Mahmud Syah I ini. Menurut sejarah Melayu, Hang Tuah di makamkan di Tanjung Keling Melaka.

C. zaman Johor. Setelah Melaka di kalahkan portugis, putra Sultan Mahmud Syah I, Sultan Ahmad Syah yang merupakan Raja Bintan di Riau, membuka Negeri Johor. Namun gagal. Akhirnya Sultan Mahmud Syah I wafat pada Tahun 1528 dan di beri gelar kemangkatan dengan gelar Marhum Kampar. Kedudukannya digantikan oleh putranya Alauddin Riayat Syah II. Tapi sayang Sultan Alauddin membuat kesalahan fatal. Dia memindahkan imperium Melayu dari Pekan Tua yang terletak di Sungai Kampar Riau Sumatera yang telah terjaga rapi, kuat dan tangguh ke bagian Johor Lama dan di beri nama Pekan Tua juga. Rancangan ayahnya yang kokoh dengan maksud supaya tetap menjaga hubungan dalam imperium Melayu jadi hancur. 

 Pada waktu itu Kampar tidak lagi diurus Raja sendiri, melainkan diserahkan kepengurusannya kepada Adipati Kampar (Selaku Gubernur). Bahkan dikatakan dari sumber sejarah lain Sultan Alauddin Riayat Syah II ini malah mau berdamai dengan portugis dan sama-sama menghantam Aceh. Abangnya yang bernama Raja Muda Muzaffar Syah diusirnya atas desakan bendahara. Raja Muda Muzaffar Syah sekeluarga akhirnya pergi membawa nasib hingga ke Siam (Thailand). Kemudian dibawa rakyat di Kelang ke Perak dan dirajakan disana selaku Sultan Perak dan Selangor.

September 1537, Aceh mengadakan penyerangan kepada Melaka yang telah berada di tangan Portugis. Dengan kekuatan 300 orang prajurit, Aceh mendaratkan dan berperang diMelaka selama 3 hari. Aceh juga menyerang Haru. Sultan Alauddin Riayat Syah II tiba-tiba menyerang armada Aceh (Deli) dalam pada tahun 1540. ia merebut Haru masuk dalam lingkungan Melayu. Hal ini merupakan dendam Aceh dengan imperium Melayu sampai abad ke 18. dan tentu saja hal ini sangat menguntungkan bagi Portugis. Aceh kemudian membalas serangan itu pada tahun 1564 ke Haru, dan berhasil mendudukinya. Armada Aceh terus maju menduduki Johor-Lama dan Sultan Alauddin Riayat Syah II berhasil di tawan dan dibawa ke Aceh.

Setelah itu berturut-turut menjadi raja Johor: Sultan Nuzaffar Syah 1564-1570 Sultan Abdul Jalil Syah 1570-1571 Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II 1571-1597 Sultan Alauddin Riayat Syah III 1597-1615 Sultan Abdul Muayat Syah 1615-1623 Sultan Abdul Jalil Syah III 1623-1677

Pada masa Sultan Muzzafar Syah, lahirlah seorang Pujangga Melayu (1565) putra dari Tun Ahmad Paduka Raja yang terkenal dengan nama Tun Seri Lanang. Tun Sri Lanang merupakan penulis terbanyak tentang sejarah Melayu. Tulisannya menjadi sumber-sumber sejarah Melayu dewasa ini. Beliau pernah tinggal di aceh sambil menyusun dan menyempurnakan karyanya yang terbesar.yakni Tentang Sejarah Melayu. Dan berkenaan dengan penulis-penulis dan ulama yang termasyur seperti Syekh Nuruddin ar Raniri, Tun Aceh, Tun Burhat, Hamzah Fansuri, Syeikh Syamsuddin Sumatrani, dan sebagainya.

Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Syah III. Johor mengadakan hubungan persahabatan dengan Belanda. Dengan kekuatan yang berserikat, Johor berhasil merebut Melaka dari tangan Portugis pada tanggal 14 januari 1647.

Tahun 1673 Batu Sawar diserang Jambi sehingga Sultan mundur ke Pahang. Dan mangkat pada Tahun 1677. kedudukannya digantikan oleh Sultan Ibrahim Syah yang memerintah dari tahun 1677 sampai dengan tahun 1685.

Pada masa Sultan Ibrahim Syah memerintah, beliau memindahkan pusat Kerajaannya ke Bintan pada tahun 1678 tepatnya di Sungai Carang. Dari sini beliau menyusun kekuatan menyerang Jambi. Negeri itu menjadi “Bandar Riuh” yang pada akhirnya terkenal dengan nama RIAU. Masa pemerintahan Sultan Ibrahim Syah berakhir pada tahun 1685. Tetapi saya belum mengetahui secara pasti penyebab berakhirnya masa beliau memerintah, Karena saya sedang mencari data tentang Sultan Ibrahim Syah ini. Tapi sangat besar kemungkinan bahwa beliau berhenti memerintah dikarenakan wafat.

Saat beliau wafat belum ada yang bisa menggantikan kedudukannya sebagai raja. Hal ini disebabkan karena cikal bakal pewaris tahta beliau, yakni putranya yang bernama Raja Mahmud masih kecil. Maka pemerintahan Kerajaan pada waktu itu dipegang oleh Datuk Seri Maharaja atau disebut juga Bendahara Paduka Raja Tun Habib. Pada masa ini diadakan perjanjian dagang dengan Belanda. Setelah Raja Mahmud dewasa, barulah Raja Mahmud dinobatkan menjadi Sultan dengan gelar Sultan Mahmud Syah II. Beliau memerintah dari tahun 1677 sampai dengan tahun 1699. Meninggal pada usia 42 tahun setelah di bunuh Laksemana Megat Sri Rama. Sultan Mahmud Syah II meninggal ketika sedang berangkat untuk menunaikan shalat Jum’at. Beliau pergi shalat jum’at dengan di julang oleh pengawalnya. 

Dijulang dalam bahasa Melayu berarti di dudukkan di atas tengkuk. Di tengah perjalanan Sultan Mahmud Syah II dibunuh oleh Megat Sri Rama. Tapi menurut keterangan Raja Ali Haji, Laksemana Megat Sri Rama juga mati disebabkan oleh sikin nya Sultan sesuai dengan keterangannya yang tertulis dalam Tuhfatu’n Nafis : “maka adalah ketika baginda itu diatas julang hendak pergi Shalat Jum’at, lalu diparangnya hulu hati baginda hingga mangkat, dan Megat (Sri Rama) itupun mati juga karena dilontar oleh baginda dengan sikinnya¹” Dengan berita kematian Sultan yang telah sampai keistana membuat Istri Sultan Mahmud Syah II, Encik Pong yang sedang hamil tua diselamatkan oleh Nahkoda Malim, salah satu hulubalangnya yang setia. Encik Pong di larikan kedalam hutan dengan beberapa orang pengawalnya.

Sejak itu putuslah zuriat keturunan Raja-Raja Melaka di Johor. Dan bertukar alih ke tangan Raja-Raja keturunan dari Bendahara.

Setelah Encik Pong melahirkan seorang anak lelaki yang diberi nama Raja Kecil, Encik Pong dibawa keluar Johor dan dibawa ke Jambi. Kemudian dilarikan lagi ke Indragiri, hingga akhirnya sampai ke Pagarruyung. Dipagarruyung Encik Pong dan Raja Kecil mendapatkan Suaka Politik. Bahkan Raja Kecil dianggap sebagai anak angkat istana oleh Kerajaan pagarruyung. Encik Pong pun wafat di pagarruyung. Raja Kecil kemudian betul-betul dididik oleh keluarga Istana Pagaruyyung. Mulai dari ilmu agama, ilmu pemerintahan, ilmu silat dan sebagainya. Raja Kecil tumbuh menjadi remaja. Sampai akhirnya Keluarga Kerajaan Pagarruyung menceritakan asal usul dirinya. Setelah mengetahui, maka Raja Kecil ingin menuntut balas atas kejadian yang menimpa keluarganya. Pada saat itu ia telah di bekali dukungan dari Pagarruyung.

Dalam satu Riwayat sejarah Melayu lain dikatakan mengenai Raja Kecil ini. Raja Beraleh (Tun Bujang) seorang anak raja yang datang dari Minangkabau telah menghambakan diri kepada Sultan Lembayung (seorang Raja dari hulu palembang sebagai pembawa tempat sirih sultan. Kemudian setelah membawa Raja Jambi dalam suatu peperangan, Raja Beraleh kembali ke Minangkabau. Oleh keluarga Raja Pagarruyung, nama Raja Beraleh ditukar menjadi Raja Kecil. Namun cerita ini tidak popular di Riau.

Pengganti Sultan Mahmud Syah II diangkat Bendahara Paduka sebagai Sultan dengan gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV (1619-1718). Adindanya Tun Mahmud diangkat menjadi Yam Tuan Muda (Raja Muda)/ sejak itu anak-anaknya dipanggil Tengku. Rakyat berontak. Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV pindah ke Riau pada tahun 1709 dan minta bantuan VOC Belanda tahun 1713. kemudian ia disingkirkan oleh Raja Kecil yang telah diberi gelar Yang Dipertuan Cantik pada tanggal 21 Maret 1717. ia naik tahta dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah (1718-1722).

d. Riau-Lingga Inggris dan Belanda membuat perjanjian (amiens 1802) bahwa jajahan Belanda di Indonesia harus dipulangkan oleh Inggris. Hal ini diperteguh lagi setelah kalahnya Napoleon (Konferensi London). Sir Stanford Raffles wakil gubernur Inggris dari India memperlambat pengembalian ini.

Ditahun 1818, Inggris mengembalikan Melaka kepada Belanda. Tengku Long ditabalkan menjadi Sultan Riau-Johor tanggal 6 Februari 1819. dengan acara adat disaksikan oleh Raffles dan Mayor Farquhar. Dengan peristiwa ini terpecahlan Imperium Riau Johor menjadi dua yaitu Kerajaan Johor Singapura di bawah pimpinan Tengku Husin (T.Long) tahun 1824, Singapura jadi Crown Colony Inggris. Dan Kerajaan Riau dibawah Sultan Tengku Abdul Rahman Muazzamsyah II yang didukung oleh Belanda. Namun akhirnya pada tanggal 3 Februari 1911 Kesultanan Riau dihapuskan Pemerintahan langsung ditangan Gubernur Hindia Belanda diwakili oleh seorang residen yang berkedudukan di Tanjung Pinang sampai awal masuknya Jepang.

Dalam Bataviaasche Novelles lebih lanjut diberitakan dari Jambi tertanggal 28 Maret 1711 bahwa seorang Minangkabau atau dari Pealaman, menyebut dirinya sebagai Raja Ibrahim, memperkenalkan diri sebagai keturunan Yang Dipertuan yang terkenal dengan pengikut enam atau tujuh orang, telah sampai dihulu Jambi, membawa lempengan perak dengan tulisan, persahabatan dengan Pangeran Pringga Raja serta saudaranya Kyai Gedee, Sultan Jambi. Sangatlah mungkin apa yang disebut Yang Dipertuan disitu adalah Raja Kecil. Menurut cerita sederhana dari orang-orang bumi putera, bahwa Raja Kecil mengunjungi bajak laut Bugis di sekitar Bangka, untuk meminta bantuan menyerang Johor dan hal itu kelihatannya lebih sesuai dengan umumnya. Jika dalam Tahun 1648 sweaktu ia mengunjungi Jambi ia berumur 20 tahun, maka sewaktu merebut Johor dalam tahun 1717, umurnya telah mencapai umur 53 tahun, dan dalam tahun 1745 ia telah berumur 81 tahun (ia wafat tahun berikutnya), barulah sesuai jika ia dikatakan “telah berusia sangat lanjut”.

Kebenaran masalah ini tetap menimbulkan keraguan, tetapi perlu mendapat perhatian, bahwa pemerintah Melaka dalam tahun 1745, jadi 25 tahun setelah terjadi berbagai peristiwa, menurut pelukis Melayu adalah Raja Kecil, bukanlah Raja Sulaiman yang menjadi Raja Melayu. Orang-orang bugis dibawah pimpinan tiga bersaudara, Daeng Marewah atau Kelana Jaya Putera, Daeng Perani dan Daeng Pali atau Daeng Celak, dalam tahun 1134 (bersamaan 22 oktober 1721) membantu Raja Sulaiman menaiki tahta Johor, Riau dan Pahang. Pusat Kerajaan waktu itu berada di Riau, sebelah kedalam teluk. Pemimpin-pemimpin bugis tersebut mendapat imbalan atas jasa-jasanya, mungkin karena sultan merasa terima kasih atau oleh karena takut. Daeng Marewah, atau Kelana Jaya Putera menjadi Raja Muda dari Kerajaan Johor dengan gelar Sultan Alau’ddin Syah, sedangkan Daeng Manompo, juga seorang yang terkemuka di antara bajak laut bugis itu, diangkat dengan Raja Tuwah dengan gelar Sultan Ibrahim, ia merupakan raja kedua setelah Raja Muda.

Keterikatan Istana Johor dengan Bugis semakin erat setelah diadakannya perkawinan-perkawinan silang yang berlangsung. Daeng Marewah dikawinkan dengan Encik Ayu, janda Sultan Mahmud, tetapi tidak pernah hidup rukun akibat pengaruh masa remajanya. Daeng Manompo mengambil istri Tun Tepati, saudara ibu Sultan Sulaiman. Daeng Sasuru dan Daeng Mengato kawin dengan saudara sepupu sultan, dan orang-orang bugis yang kurang terkemuka kawin dengan putrid-putri pejabat-pejabat dan kepala-kepala orang Melayu.



Ilustrasi Parameswara
Sebenarnya ada beberapa versi mengenai sejarah Parameswara. Sedikitnya yang saya ketahui ada 3 versi sejarah.

Versi pertama menurut Sejarah Melayu yang dikarang oleh Tun Sri Lanang adalah bahwa keturunan raja-raja Sriwijaya telah menjadi pemimpin di Temasek (Singapura) semenjak dari tahun 1324 M. Dan Parameswara merupakan  Raja Temasek yang terakhir dari keturunan Sriwijaya. Parameswara memimpin Temasek sekitar pada tahun 1399-1401 M sebelum akhirnya kerajaan Majapahit menyerang Temasek. Parameswara yang kalah akhirnya melarikan diri ke Semenanjung Malaysia bersama beberapa pengikutnya.

Versi kedua yang berasal dari cerita sejarahwan Portugis Tome Pires adalah Parameswara merupakan Raja Palembang yang menggantikan ayahnya, Raja Sam Agi. Namun tidak berapa lama setelah itu kerajaan Palembang diserang oleh Majapahit yang dipimpin oleh Raja Batara.
Majapahit menyerang Palembang karena Parameswara menggelari dirinya sebagai Mjeura atau orang yang berani. Ekoran daripada itu, Parameswara kalah dan melarikan diri ke Temasek (Singapura) dan lalu menjadi pimpinan sementara Temasek setelah membunuh Raja Temagi yang merupakan utusan kerajaan Siam (Thailand) untuk memerintah Temasek. Tempoh pemerintahan Parameswara di Temasek tidaklah lama karena kerajaan Siam kembali berhasil merebut Temasek dan membuat Parameswara beserta pengikut setianya untuk lari ke Semenanjung Malaysia.

Versi Ketiga sejarah Parameswara berdasarkan Novel Melaka the Glorious Malay Sultanate, oleh Mansor bin Puteh.

Ketika Kerajaan Palembang dipimpin oleh Paduka Seri Maharaja Damia Raja, kerajaan Palembang merupakan salah satu kerajaan dari Pulau Andalas (Sumatera) yang disegani di seantero nusantara. Pada tahun 1389M Damia Raja jatuh sakit karena pengaruh umur. Damia Raja telah memimpin Kerajaan Palembang selama 4 dekade. Dan dia memiliki 2 orang putera, yang dimana putera keduanya adalah Parameswara (49 tahun) yang juga menjadi Putera Mahkota Kerajaan Palembang selama 3 dekade.

Seluruh pembesar dan keluarga kerajaan berkumpul di suatu ruangan untuk mendengarkan titah terakhir sang Raja. Damia Raja ingin menunjuk penggantinya untuk menjadi Raja kelima Kerajaan Palembang.  Parameswara dan beberapa pembesar kerajaan sangat yakin bahwa Parameswara lah yang akan ditunjuk menggantikan Damia Raja. Saat-saat mendebarkan itu akhirnya lepas setelah Damia Raja memutuskan untuk memberikan tampuk kepemimpinan kepada anak tertuanya, kakak kepada Parameswara.

Parameswara sangat marah ketika itu, karena sepatutnya dialah yang menjadi penerus ayahnya. Dia telah menjadi putra mahkota selama 3 dekade. Dan dia juga sangat yakin bahwa dia lah yg terpilih dibanding kakaknya yang tidak terlalu terlibat dalam tampuk pemerintahan sehari-hari kerajaan Palembang (Sebagai Putera Mahkota Parameswara berkewajiban untuk turut dalam pemerintahan kerajaan). Tapi apa daya, ayahnya telah memutuskan demikian. Walau sangat marah, tetapi Parameswara tidak menampakkannya pada saat itu. Tidak lama setelah itu, Damia Raja meninggal dunia setelah sempat memberitahu kepada semua orang kenapa dia memilih anaknya yang tertua untuk menjadi pemimpin Palembang tapi bukan parameswara.

Setelah kejadian tersebut, walaupun Kakaknya telah akan memberikan keistimewaan kepada Parameswara untuk memimpin wilayah manapun yang dia minta, Parameswara tetap sukar hati dan marah mengenai keputusan Ayahnya tersebut. Sampai akhirnya Parameswara beserta keluarga, perdana menteri dan ratusan prajurit setianya pergi meninggalkan tanah Palembang. Dia merasa malu untuk tetap tinggal di Palembang. Mau taruh dimana muka Parameswara ketika berjumpa rakyat Palembang ataupun tokoh-tokoh dari kerajaan lain.

Tempat yang dituju oleh Parameswara adalah kerajaan Majapahit. Karena dia memiliki hubungan persaudaraan dengan Raja Majapahit ketika itu, Hayam Wuruk. Parameswara berada di Majapahit selama lebih kurang 5 tahun sebelum akhirnya berlayar ke Temasek (Singapura). Di Singapura Parameswara berhasil membunuh Raja Temasek yang merupakan utusan dari kerajaan Siam (Thailand) ketika itu, dan akhirnya Parameswara memimpin Temasek selama lima tahun sebelum akhirnya dia dijatuhkan kembali oleh pengikut setia Raja yang terdahulu dan pasukan dari Siam. Parameswara beserta pengikutnya melarikan diri hingga ke hujung utara pulau Temasek. Akhirnya menyeberanglah mereka ke tanah Semenanjung Malaysia. Berhari-hari mereka berjalan di sepanjang pesisir Semenanjung untuk mencari tempat yang sesuai untuk menetap.

Sampailah mereka di suatu tempat yang masih belum dipunyai oleh kerajaan manapun. Hanya terdapat beberapa kampung nelayan kecil disana. Mereka adalah rakyat bebas. Parameswara berkeinginan untuk mendirikan kerajaan disana. Dan dipilihlah daerah yang dekat dengan laut atau sungai agar kerajaan dapat melakukan pertukaran ekonomi dengan kerajaan lain.
Suatu hari, Parameswara duduk di bawah suatu pohon yang bernama pohon Melaka. Dan beliau melihat suatu kejadian yang unik. Anjing pemburu Parameswara berhasil dikalahkan oleh seekor kancil yang kecil. Karena kejadian itu cukup membuat Parameswara takjub maka dinamakannya kerajaan yang baru dia bentuk itu menjadi Kerajaan Melaka.

Kerajaan Melaka banyak melakukan kerjama sama dengan kerajaan yang berada di Cina ataupun India dan Arab. Oleh karena seringnya melakukan kerjasama dengan kerajaan Muslim dari India, akhirnya Parameswara masuk Islam pada umur 74 tahun setelah dia mengunjungi kerajaan Samudera Pasai di Sumatera.  Parameswara juga menjalin ikatan kuat dengan kerajaan di Cina. Oleh demikian bangunan-bangunan yang terdapat di Melaka ketika itu banyak yg berunsurkan Cina. Seperti contohnya membangun bangunan dari batu bukan dari kayu yang umumnya dilakukan kerajaan Hindu terdahulu.

Parameswara meninggal dunia pada umur 84 tahun (1424 M). Dan kegemilangan Kerajaan Melaka berlanjut kepada Kesultanan Melaka hinggalah sekarang Melaka menjadi salah satu daya tarik wisata yang dimiliki Malaysia.

Kesimpulan beberapa versi sejarah tersebut

Dapat diambil kesimpulan bahwa sejarah yang sudah berlangsung sedemikian lamanya tentu akan ada berbagai versi yang menceritakannya. Untuk sejarah Parameswara mendirikan Kerajaan Melaka ini sendiri ada tiga versi yang populer. Ketiga versi itu hanya berlainan dan sedikit bertolak belakang di bagian intro atau sebelum Parameswara menginjakkan kakinya di tanah Semenanjung Malaysia, selebihnya adalah sama. Semoga pembaca dapat mengambil hal-hal yang bagus dari sejarah ini.



Dulu, Dumai hanyalah sebuah dusun nelayan yang sepi, berada di pesisir Timur Propinsi Riau, Indonesia

Ada dua tradisi yang sejak lama berkembang di kalangan masyarakat kota Dumai yaitu tradisi tulisan dan lisan. Salah satu tradisi lisan yang sangat populer di daerah ini adalah cerita-cerita rakyat yang dituturkan secara turun-temurun. Sampai saat ini, Kota Dumai masih menyimpan sejumlah cerita rakyat yang digemari dan memiliki fungsi moral yang amat penting bagi kehidupan masyarakat, misalnya sebagai alat pendidikan, pengajaran moral, hiburan, dan sebagainya. Salah satu cerita rakyat yang masih berkembang di Dumai adalah Legenda Putri Tujuh. Cerita legenda ini mengisahkan tentang asal-mula nama Kota Dumai.  


Konon, pada zaman dahulu kala, di daerah Dumai berdiri sebuah kerajaan bernama Seri Bunga Tanjung. Kerajaan ini diperintah oleh seorang Ratu yang bernama Cik Sima. Ratu ini memiliki tujuh orang putri yang elok nan rupawan, yang dikenal dengan Putri Tujuh. Dari ketujuh putri tersebut, putri bungsulah yang paling cantik, namanya Mayang Sari. Putri Mayang Sari memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra, wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai delima, alisnya bagai semut beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai mayang. Karena itu, sang Putri juga dikenal dengan sebutan Mayang Mengurai.
Pada suatu hari, ketujuh putri itu sedang mandi di lubuk Sarang Umai. Karena asyik berendam dan bersendau gurau, ketujuh putri itu tidak menyadari ada beberapa pasang mata yang sedang mengamati mereka, yang ternyata adalah Pangeran Empang Kuala dan para pengawalnya yang kebetulan lewat di daerah itu. Mereka mengamati ketujuh putri tersebut dari balik semak-semak. Secara diam-diam, sang Pangeran terpesona melihat kecantikan salah satu putri yang tak lain adalah Putri Mayang Sari. Tanpa disadari, Pangeran Empang Kuala bergumam lirih, “Gadis cantik di lubuk Umai....cantik di Umai. Ya, ya.....d‘umai...d‘umai....” Kata-kata itu terus terucap dalam hati Pangeran Empang Kuala. Rupanya, sang Pangeran jatuh cinta kepada sang Putri. Karena itu, sang Pangeran berniat untuk meminangnya.
Beberapa hari kemudian, sang Pangeran mengirim utusan untuk meminang putri itu yang diketahuinya bernama Mayang Mengurai. Utusan tersebut mengantarkan tepak sirih sebagai pinangan adat kebesaran raja kepada Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Pinangan itu pun disambut oleh Ratu Cik Sima dengan kemuliaan adat yang berlaku di Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Sebagai balasan pinangan Pangeran Empang Kuala, Ratu Cik Sima pun menjunjung tinggi adat kerajaan yaitu mengisi pinang dan gambir pada combol paling besar di antara tujuh buah combol yang ada di dalam tepak itu. Enam buah combol lainnya sengaja tak diisinya, sehingga tetap kosong. Adat ini melambangkan bahwa putri tertualah yang berhak menerima pinangan terlebih dahulu.
Mengetahui pinangan Pangerannya ditolak, utusan tersebut kembali menghadap kepada sang Pangeran. “Ampun Baginda Raja! Hamba tak ada maksud mengecewakan Tuan. Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung belum bersedia menerima pinangan Tuan untuk memperistrikan Putri Mayang Mengurai.” Mendengar laporan itu, sang Raja pun naik pitam karena rasa malu yang amat sangat. Sang Pangeran tak lagi peduli dengan adat yang berlaku di negeri Seri Bunga Tanjung. Amarah yang menguasai hatinya tak bisa dikendalikan lagi. Sang Pangeran pun segera memerintahkan para panglima dan prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Maka, pertempuran antara kedua kerajaan di pinggiran Selat Malaka itu tak dapat dielakkan lagi.
Di tengah berkecamuknya perang tersebut, Ratu Cik Sima segera melarikan ketujuh putrinya ke dalam hutan dan menyembunyikan mereka di dalam sebuah lubang yang beratapkan tanah dan terlindung oleh pepohonan. Tak lupa pula sang Ratu membekali ketujuh putrinya makanan yang cukup untuk tiga bulan. Setelah itu, sang Ratu kembali ke kerajaan untuk mengadakan perlawanan terhadap pasukan Pangeran Empang Kuala. Sudah 3 bulan berlalu, namun pertempuran antara kedua kerajaan itu tak kunjung usai. Setelah memasuki bulan keempat, pasukan Ratu Cik Sima semakin terdesak dan tak berdaya. Akhirnya, Negeri Seri Bunga Tanjung dihancurkan, rakyatnya banyak yang tewas. Melihat negerinya hancur dan tak berdaya, Ratu Cik Sima segera meminta bantuan jin yang sedang bertapa di bukit Hulu Sungai Umai.
Pada suatu senja, pasukan Pangeran Empang Kuala sedang beristirahat di hilir Umai. Mereka berlindung di bawah pohon-pohon bakau. Namun, menjelang malam terjadi peristiwa yang sangat mengerikan. Secara tiba-tiba mereka tertimpa beribu-ribu buah bakau yang jatuh dan menusuk ke badan para pasukan Pangeran Empang Kuala. Tak sampai separuh malam, pasukan Pangeran Empang Kaula dapat dilumpuhkan. Pada saat pasukan Kerajaan Empang Kuala tak berdaya, datanglah utusan Ratu Cik Sima menghadap Pangeran Empang Kuala.
Melihat kedatangan utusan tersebut, sang Pangeran yang masih terduduk lemas menahan sakit langsung bertanya, “Hai orang Seri Bunga Tanjung, apa maksud kedatanganmu ini?”. Sang Utusan menjawab, “Hamba datang untuk menyampaikan pesan Ratu Cik Sima agar Pangeran berkenan menghentikan peperangan ini. Perbuatan kita ini telah merusakkan bumi sakti rantau bertuah dan menodai pesisir Seri Bunga Tanjung. Siapa yang datang dengan niat buruk, malapetaka akan menimpa, sebaliknya siapa yang datang dengan niat baik ke negeri Seri Bunga Tanjung, akan sejahteralah hidupnya,” kata utusan Ratu Cik Sima menjelaskan. Mendengar penjelasan utusan Ratu Cik Sima, sadarlah Pangeran Empang Kuala, bahwa dirinyalah yang memulai peperangan tersebut. Pangeran langsung memerintahkan pasukannya agar segera pulang ke Negeri Empang Kuala.

Keesokan harinya, Ratu Cik Sima bergegas mendatangi tempat persembunyian ketujuh putrinya di dalam hutan. Alangkah terkejutnya Ratu Cik Sima, karena ketujuh putrinya sudah dalam keadaan tak bernyawa. Mereka mati karena haus dan lapar. Ternyata Ratu Cik Sima lupa, kalau bekal yang disediakan hanya cukup untuk tiga bulan. Sedangkan perang antara Ratu Cik Sima dengan Pangeran Empang Kuala berlangsung sampai empat bulan.
Akhirnya, karena tak kuat menahan kesedihan atas kematian ketujuh putrinya, maka Ratu Cik Sima pun jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia. Sampai kini, pengorbanan Putri Tujuh itu tetap dikenang dalam sebuah lirik:
Umbut mari mayang diumbut
Mari diumbut di rumpun buluh
Jemput mari dayang dijemput
Mari dijemput turun bertujuh
Ketujuhnya berkain serong
Ketujuhnya bersubang gading
Ketujuhnya bersanggul sendeng
Ketujuhnya memakai pending

Sejak peristiwa itu, masyarakat Dumai meyakini bahwa nama kota Dumai diambil dari kata “d‘umai” yang selalu diucapkan Pangeran Empang Kuala ketika melihat kecantikan Putri Mayang Sari atau Mayang Mengurai. Di Dumai juga bisa dijumpai situs bersejarah berupa pesanggarahan Putri Tujuh yang terletak di dalam komplek kilang minyak PT Pertamina Dumai. Selain itu, ada beberapa nama tempat di kota Dumai yang diabadikan untuk mengenang peristiwa itu, di antaranya: kilang minyak milik Pertamina Dumai diberi nama Putri Tujuh; bukit hulu Sungai Umai tempat pertapaan Jin diberi nama Bukit Jin. Kemudian lirik Tujuh Putri sampai sekarang dijadikan nyanyian pengiring Tari Pulai dan Asyik Mayang bagi para tabib saat mengobati orang sakit.












Disadur dari buku: Legenda Putri Tujuh: Asal Mula Kota Dumai. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Adicita Karya Nusa, 2005. 

Tidak ada komentar :

Posting Komentar